Hit counter
Archive for Februari 2013
Pelangi Hatiku
4
Senja mulai merangkak naik, suasana yang damai
di alam saat ini,tak berlaku di rumah mungilku, aku sedang berdebat dengan ibu.
“pokoknya
aku mau ngekos! Aku mau mandiri…lagipula kampus dengan rumah kita kan jaraknya
cukup jauh..masalah makan atau keperluan lain aku bisa usaha bu!” kataku
berusaha meyakinkan ibuku.
“tapi
Mika..ibu kan sudah tua, kamu anak ibu satu-satunya, Cuma kamu yang ibu miliki
sejak ayahmu meninggal 8 tahun lalu..apa kamu tega meninggalkan ibu sendirian?”
ibu menatap wajahku, ku lihat matanya yang berkaca-kaca. Tapi, itu sama sekali
tak mengubah keinginanku.
“memang
iya sih bu, tapi aku kan sudah besar, umurku sudah 19 tahun, aku berhak untuk
nentuin jalan hidupku. Dan ngekos saat aku sudah kuliah, sudah ku rencanakan
dari aku kelas 2 SMA. Aku sudah dapat tempat kos yang bagus kok, dekat dengan
kampus dan harga sewanya juga murah” Aku mulai bosan untuk terus-menerus
meyakinkan ibu. Sudah 1 jam lebih kami berdiskusi tenang keinginanku ini, tapi
ibu belum juga mengizinkan.
“ibu
sudah tak tahu harus berkata apalagi Mika, apa yang ibu katakan pasti akan kamu
bantah. Begitulah watakmu, sekali kau menginginkan sesuatu sulit tuk membuatmu
berpaling dari Sesuatu itu. Ibu hanya bisa merestui kepergianmu, dan ibu harap
setelah kau ngekos kau tak lupa untuk menengok ibumu ini nak..” setelah berkata
begitu ibu beranjak pergi menuju kamarnya.
Aku
tersenyum, karena beberapa hari lagi aku akan mewujudkan keinginanku,
perdebatan ini akhirnya aku menangkan.
⃰ ⃰ ⃰
Hari
yang ku tunggu-tunggu selama ini tiba juga, semua barang-barangku sudah diantar
ke kos-kosan kemarin sore. Jadi sekarang aku tinggal berangkat saja.
“bu,
aku pergi dulu yah, jaga diri ibu baik-baik, kalau ada apa-apa telpon saja..ya
bu.” Aku berpamitan pada ibu, siang ini aku akan memulai hidupku sebagai anak
kos-kosan.
“yah,
jangan khawatirkan ibu, kau akan pulang berapa hari sekali nak?” kata ibu
sambil mengelus wajahku.
“kira-kira
2 minggu sekalilah bu….”
“baiklah…hati-hatilah
kau disana..nak”
“iya
bu..” aku pun melangkahkan kakiku menjauh, walau ku tak memalingkan wajahku, ku
bisa merasakan tatapan sayu ibu yang masih menancap di punggungku.
⃰ ⃰ ⃰
Aku
tercengang, aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja ku dengar.
“apa
itu benar tante?” aku bertanya menuntut kepastian.
“iya
Mika, tante ga bohong. Sebaiknya kau langsung kemari, karena ibumu terus
mengigau memanggil namamu.”
“baik
tante, malam ini juga Mika berangkat ke sana.” Setelah menutup telpon aku
bergegas memasukan baju-bajuku, dan barang-barang lainnya ke dalam tas,
mengunci pintu lalu berlari secepat mungkin keluar gang untuk mendapatkan taksi
menuju Rumah Sakit tempat ibuku dirawat sekarang. ‘oh tuhan, mengapa ini bisa
terjadi? Pingsan di kamar mandi? Astaga..,ibu,ibu…ada-ada saja. Baru seminggu
ditinggal malah seperti ini’. Gumamku dalam hati.
⃰ ⃰ ⃰
“ah, ibu! Akhirnya sadar juga, ibu benar-benar
membuatku cemas…bagaimana perasaan ibu sekarang?” kataku ketika ku lihat ibu
membuka matanya perlahan. Setelah memperhatikan sekitarnya sebentar, akhirnya
ibu berbicara juga.
“ibu
sudah baikkan nak..,Cuma masih sedikit pusing. Ibu senang kau ada di sini, ibu
kangen sama kamu nak..” cairan bening mengalir dari kedua matanya. Ku hapus
dengan perlahan cairan bening itu, cairan yang mewakilkan perasaannya yang
terdalam.
“sstt..,sudah
bu, kalau ibu nangis, nanti ibu makin sakit, yang penting sekarang akukan ada di
sini, aku akan menemani ibu..ibu istirahat saja dulu..aku mau menelpon tante
Rena memberitahukan kalau ibu sudah sadar.” Aku berusaha menenangkan ibu.
“Rena?
Kapan dia ada di sini nak?”
“tadi
malam, tante yang mengantarkan Ibu kemari, saat tante ke rumah kita, tante
menemukan ibu dalam keadaan pingsan di
kamar mandi. Lalu setelah aku datang kemari aku menyuruh tante pulang untuk
istirahat…”
“hm..,
sekarang sudah jam berapa nak?”
“Ini
baru jam 9 pagi, ya sudah, aku mau menelpon tante dulu sekaligus cari makanan
buat ibu, sebaiknya ibu istirahat.” Aku beranjak pergi, namun langkahku
terhenti saat ibu memanggilku.
“nak..jangan
lama-lama, ibu takut tuk berpisah darimu lagi.” Suara ibu terdengar parau.
“ah,
ibu terlalu berlebihan” akupun keluar dari ruangan itu tanpa menghiraukan
perkataan ibu tadi, ada perasaan aneh menyelusup dalam relung hatiku.
⃰ ⃰ ⃰
“dokter, apa yang terjadi pada ibu saya?!!”
aku kaget saat melihat dokter dan 2 orang suster sibuk mengelilingi ranjang
ibu. Aku baru kembali dari mencari makanan.
“tunggu
sebentar yah mba..ibu anda lagi kritis, kami berusaha menolongnya.” Salah satu
suster menjauhkanku dari ranjang ibu. ‘kritis? kok bisa? baru sejam yang lalu
ibu berbicara padaku..ini mustahil’ aku bertanya-tanya dalam hati, persaanku
tak enak, ada sesuatu dalam diriku yang membuat seluruh tubuhku merasa kebas.
“mba,
tolong kemari, ibu anda mau mengatakan sesuatu..” dokter memanggilku, aku melangkah
tapi kakiku terasa kaku, aku merasa takut mendekati ranjang ibu.
“nak..dengarkanlah perkataan ibumu ini” kata ibu
saat aku ada di sampingnya. Suaranya lemah, jauh dan membuat dadaku terasa
sesak.
“iya
bu..aku akan mendengarkannya..” tenggorokkanku tercekat, airmataku mulai
mengalir membasahi pipi.
“nak
wujudkanlah semua keinginan dan cita-citamu…dan jadilah wanita yang baik..”
“ibu..iya
bu.ibu..” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku sekarang. Terbayang semua
kenangan-kenangan saat aku bersama ibu, saat aku membantah kata-katanya, saat
aku mati-matian mendesak agar diizinkan untuk ngekos, saat ibu membelai wajahku
dengan lembut. ‘oh tuhan, betapa bodohnya aku selama ini, belum sempat aku
membalas semua yang ibu lakukan untukku..walau aku menyusahkan dirinya, tak
pernah ibu membenciku, satu goresan luka yang ku beri di hatinya, seribu
kebahagiaan dan tawa bahagia yang ibu balas padaku..’ aku menyesali semua hal
buruk yang aku lakukan pada ibu.
“nak..jangan
menangis, itu hanya membuat ibu semakin sulit tuk berpisah darimu, tersenyumlah
nak, agar ibu bisa pergi dengan tenang…” suara ibu terdengar putus-putus.
“….dan
jika kau merindukan ibu nak…lihatlah pelangi, ibu akan ada di situ..untuk
melihat dan menjagamu nak...” lalu semua hening…, itulah kata-kata terakhir
ibu, kini ia sudah tak bernafas lagi, matanya tertutup rapat, dan tubuhnya
terbujur kaku di pembaringan. Sedangkan aku hanya bisa menangis di sampingnya,
berteriak histeris memanggilnya kembali, tapi itu tak mungkin terjadi.
Tangisanku hanya menggema di dinding-dinding beton ruangan putih ini.
⃰ ⃰ ⃰
Hujan
membasahi bumi sejak semalam, di pemakaman ini semua orang ikut mengantarkan
kepulangan ibu kembali kepada Yang Maha Kuasa.
Tak
berapa lama setelah ibu dikuburkan, satu-persatu pelayat meninggalkan pemakaman
ini. Dan sekarang tinggal aku sendiri di hadapan makam ibu. Menatap nisan yang
bertuliskan namanya, masih berharap kalau ini hanyalah mimpi. Hujan sudah reda,
tapi hatiku terus menangis. Ku putuskan tuk meninggalkan makam, karena semakin
lama aku di sini, semakin lebar luka yang ada di hatiku. Aku pun berbalik lalu
aku terdiam, melihat sesuatu yang langsung membuatku menangis terisak. Pelangi!
Yah, pelangi yang indah. Teringat ku akan perkataan ibu yang terakhir.
“ibu
di sana kan..ibu sedang melihatku kan..ibu lihatlah, airmata ini akan ku ubah
menjadi senyuman..aku akan tersenyum untuk ibu.., ibu..bagiku engkaulah pelangi
hatiku..terima kasih ibu”
Aku
terisak ditemani kesunyian makam. Angin yang berhembus pelan membelai pipiku
seperti dulu Ibu membelainya.
***
BY : MENTARI ARDINI
By : Rie Chan
Ketika persahabatan tinggallah kata
4
Keheningan dan
ketenangan di sekitarnya selalu menarik perhatianku, wajahnya yang lembut
selalu ku lihat dari balik jendela kaca di perpustakaan ini. Dia sedang sendiri
lagi di sana, duduk di bangku yang berada di bawah naungan rimbunnya daun pohon
tanaman penghias sekolah, tempat yang sepi dan nyaman untuk menyendiri. Aku
hanya mengetahui nama dan kelasnya, sedangkan dia tak mengetahui apapun tentang
diriku. sejak pertama kali aku masuk ke sekolah ini 4 bulan yang lalu dan
melihatnya, dia telah merebut hatiku.
“ baca buku lagi
ya Ri?” sapaan yang tiba-tiba itu mengagetkanku.
“hah?em..iya nih
Nul, seperti biasa..” kataku dengan sedikit gelagapan menjawab pertanyaan Husnul. Buku yang sedang
ku pegang hampir terlepas dari genggaman.
“yah,seperti
biasa. Membaca di samping jendela di pojok perpustakaan. Aku penasaran, kenapa
kau selalu memilih tempat ini sih?apa ada alasan khusus?” Husnul melihatku dengan
tatapan menyelidik.
“hm..aku memilih
tempat ini karena di sini lebih ‘srek’ aja buat membaca Nul..” Cuma itu alasan
yang masuk akal muncul di otakku.
“o
ya?!baiklah..betul juga sih, di sini memang lebih tenang. Bisa lebih konsentrasi
. ya udah yuk ke kantin. paduan suara nih perutku.” Husnul menepuk-nepuk
perutnya tak perduli murid-murid lain yang berada di sini menatapnya heran.
“baiklah..tunggu
sebentar, aku mau meminjam buku ini dulu.” Aku tersenyum melihat tingkah Husnul, dia tak berubah
sejak aku mengenalnya 3 tahun lalu di SMP, hingga sekarang kita sama-sama duduk
di kelas 1 SMA. Aku sangat menyayanginya, dia sahabat baikku.
“baiklah,ayo
cepetan” Husnul
dan aku berdiri, dia sekarang sudah berjalan menjauh di depanku, sebelum
benar-benar pergi, aku sempatkan untuk melihat keluar jendela lagi.
“kapan aku bisa
berbicara denganmu Cody?” bisik ku, yang kemudian hilang ditelan keheningan
perpustakaan.
⃰ ⃰ ⃰
Aku terpojok, tanganku
mendadak menjadi dingin, ternyata seperti ini perasaan orang yang menjadi
tertuduh dalam suatu kasus.
“kau menguntitku
yah?!” Cody bertanya dengan sedikit berteriak di depan wajahku. Darah menetes
dari pergelangan tangannya.
“aku tidak
seburuk itu! Aku hanya ingin menolongmu” aku hampir menangis sekarang, selain
karena takut melihat dia marah aku juga keberatan di anggap sebagai penguntit. Wajahnya sekarang benar-benar berbeda, tak ada
kelembutan yang selalu memikatku disana.
“ok, kau bilang
ingin menolongku bukan? tapi, mengapa kau bisa tiba-tiba muncul seperti ini?”
Cody menatapku tajam. Kata-katanya memang beralasan, karena di sekolah saat ini
hanya tinggal kami berdua saja.
“aku..aku..” oh tuhan, kenapa suaraku tak bisa keluar
sekarang, di saat seperti ini.
“hei! Kau tak
bisa menjawab kan. Ku ingatkan kau, jangan jadi cewe pengganggu, jangan
menguntitku! Ingat itu!” Setelah memaki ku,Cody berlalu pergi. Kini tinggalah
aku sendiri menanggis dan menyesal, yah…aku sangat menyesal karena tak bisa
menjelaskan yang sebenarnya terjadi pada Cody. Padahal ini pertama kalinya aku
berbicara dengannya.
⃰ ⃰ ⃰
“sekarang aku
harus bagaimana Nul?” aku menelungkupkan wajahku ke meja kantin, siang ini aku telah
menceritakan semuanya kepada Husnul,
tentang kejadian kemarin, tentang perpustakaan dan tentu saja tentang
perasaanku pada Cody.
“jadi dia memaki
kamu Ri?! Astaga, ga tau diri banget dia! Sebelum tau kejadian yang sebenarnya
dia langsung ambil kesimpulan jelek kaya gitu.” Husnul berkata dengan berapi-api.
“yah, salah ku
juga sih Nul, aku gugup banget waktu mau jawab pertanyaan dia” Aku menatap Husnul dan tersenyum
hambar.
“ga bisa dong
Ri, sekarang juga ayo ikut aku nemuin Cody, kita jelasin yang sebenarnya ke
dia.” Husnul menggandeng
tanganku, Aku terdiam, karena terlalu kaget dan bingung dengan apa yang terjadi.
Aku hanya mengikuti kemana langkah Husnul
membawaku pergi.
⃰ ⃰ ⃰
Cody masih
menatap aku dan Husnul,
mungkin dia masih kaget dengan apa yang baru saja terjadi. Yah..bagaimana dia
ga kaget, tiba-tiba dia didatangi oleh dua orang cewe di tempat favoritnya ini,
dan yang parahnya, sesampainya kami di sini, Husnul langsung ngejelasin kejadian yang
sebenarnya kemarin dengan sedikit ngebentak dan ga ngebiarin Cody menyela
sekali pun.
“jadi…kemarin
itu kamu benar-benar ga nguntit aku?” akhirnya Cody bicara juga setelah terdiam
cukup lama. Aku mengiyakan dengan mengangguk.
“kenapa kamu ga
bilang kalau kemarin itu kamu ga sengaja ngeliat aku jatuh dari tangga? Kamu
juga kenapa ga bilang kalau kamu sengaja balik ke sekolah dan berada di sana
karena buku kamu ketinggalan di kelas, bukan karena sengaja nguntit aku?” Cody menatap ku,
matanya seperti mengatakan bahwa dia menyesal.
“bagaimana dia
mau ngejawab Dy?! Kamu langsung marah dan maki-maki dia, ya dia ketakutanlah.” Husnul berkata dengan
sinis.
“ok, ok, aku
salah…aku minta maaf yah…” Cody mengulurkan tangannya, tangan yang kemarin mengeluarkan darah segar itu sudah
terbebat perban dengan rapi. aku dengan senang hati
menyambut uluran tangan itu. Aku bahagia, akhirnya aku bisa selangkah lebih
dekat dengan Cody walaupun dari
permulaan yang salah. Ternyata gosip yang aku dengar tentang Cody bukanlah isapan
jempol belaka, Cody memang orang yang ramah dan supel.
“oya..siapa
namamu?dan kelas berapa?” tanyanya padaku
yang membuat aku jadi malu.
“aku Riri, kelas
1-A”
“hm…ok, aku Cody
dari kelas 1-E, dan Nul, maaf yah dah buat temanmu takut dan sedih karena aku.”
Apa?! jadi, Cody dan Husnul saling kenal?kok
aku ga tau?benar-benar mengejutkanku.
“yah, ga papa,
permintaan maafmu ku terima, tapi lain kali jangan berburuk sangka seperti itu
lagi sama orang. Aku tahu apa yang kamu pikirkan waktu itu, tapi dia bukan
seperti para penggemarmu di SMP yang sampai stalkerin kamu”
“em…maaf, kalian
saling kenal? Sejak kapan?” aku ga bisa diam saja, ada yang harus ku ketahui. Cara mereka berbicara, dan Husnul yang menyebut ‘para
penggemarmu di SMP’ itu menandakan mereka pasti saling kenal.
“sejak SMP kelas 3 Ri, aku sudah kenal sama Cody walau kami tidak dekat, dia kan murid pindahan di sekolahku dulu.
lagi pula kelas kami kan dekatan, aku kan kelas 1-D” Husnul menjawab
pertanyaanku, dan di iyakan dengan anggukan Cody. Astaga, jadi selama ini Husnul
mengenal Cody, sayang banget aku ga cerita tentang perasaanku lebih cepat
padanya. Khusnul kan bisa menjadi mak comblang buat aku dan Cody. Gumamku
dalam hati.
“Ri, kamu kok
senyum-senyum sendiri?” Cody menatap ku heran.
“a?..ga papa
kok..hehehe..” dengan tertawa tidak jelas aku
mencari-cari sesuatu di angkasa untuk mengalihkan perhatian. Salah tingkah itu
nama kunonya.
“ye…dia malah
ketawa, kamu lucu juga yah..” Cody tersenyum dan geleng-geleng kepala, senyuman
itu adalah senyum termanis yang pernah ku lihat di hidupku.
⃰ ⃰ ⃰
Tak terasa 3
bulan telah berlalu, dan kami bertiga pun menjadi akrab, aku bersyukur waktu
itu aku dimarahi Cody, malah yang lebih gila, aku bersyukur Cody jatuh dari
tangga waktu itu..astaga, benar-benar gila bukan. Kami sering jalan bareng, ke
perpustakaan, ke kantin dan ngobrol serba bareng. Sekarang aku benar-benar
bahagia, keinginanku buat bisa ngobrol bareng Cody bisa terjadi, bahkan lebih
dari itu..Tuhan…thanks banget yah.
“udah Ri, dari 3
bulan yang lalu aku kan sudah bilang, kamu tembak aja Cody…dia juga sepertinya
suka ma kamu kok”
“yang benar
Nul?, tapi aku malu Nul, masa cewe ngomong suka ke cowo? Kan tengsin abis..”
sore ini aku dan Husnul
sedang duduk di tangga sekolah dan saat ini pun aku mendiskusikan tentang
perasaanku ke Cody pada Husnul.
Hal ini mulai jadi kebiasaan kami sejak 3 bulan yang lalu. Sejak Husnul mengetahui perasaanku pada Cody.
“Riri, Riri..ini
kan dah jaman modern, saatnya emansipasi wanita, lagi pula siapa saja berhak
jatuh cinta”
“emansipasi
wanita? Hahahaha…, apa hubungannya Nul? Kamu ada-ada aja deh.” Aku tertawa
kecil mendengar Husnul
membawa-bawa emansipasi wanita dalam diskusi tentang perasaanku.
“ye..kamu, malah
ngetawain lagi..” Husnul
memanyun kan bibirnya.
“iya sorry,
abisnya kamu lucu sih..”
“tenang saja Ri,
aku selalu dukung kamu kok.” Husnul
meremas tanganku, aku
seperti mendapat keberanian setiap dia melakukan itu, ku suka saat dia
mendukungku, itu membuatku kuat dan berani.
⃰ ⃰ ⃰
“Dy, sebenarnya
maksud kedatangan aku ke sini sendirian aku mau ngomong penting sama kamu.” Aku membuka
pembicaraan, di tempat inilah aku akan mengakui perasaanku padanya, di tempat
dia sering aku perhatikan dari jauh. Husnullah
yang telah membuat aku yakin untuk mengakuinya sekarang, dia benar-benar
mendukungku tadi pagi. Dan sekarang aku tak akan mengecewakan dia lagi dengan
ketidak beranianku.
“oya? Ngomong
aja Ri..tapi..sebelum itu aku boleh ngomong sesuatu ga Ri?” aku berpikir
sebentar, ku kira tak masalah dia memulai pembicaraannya lebih dulu, karena aku
masih memerlukan sedikit waktu untuk mengumpulkan keberanian. Aku tentu tak mau terbata-bata saat mengungkapkan
perasaanku apalagi sampai pingsan.
“ok..ga papa kok
Dy, memangnya kamu mau ngomong apa?” aku duduk tepat di sampingnya, menunggu
kata-kata keluar dari mulut manisnya
yang berwarna merah muda.
“boleh ga aku
titip salam buat Husnul?”
bagai di sambar petir di siang bolong aku tak percaya dengan hal yang baru saja
ku dengar. Aku kaget bukan kepalang, badan ku terasa dingin, kaku. Hatiku
seperti di belenggu kawat berduri. ‘jangan..,jangan
berprasangka buruk Ri, jangan langsung ambil kesimpulan tentang sahabat baikmu’
“Husnul, Dy?” suara ku,
ku buat senormal mungkin, walau air mata sudah menggenang di pelupuk mata. Ku
palingkan wajahku darinya.
“iya Ri,
salamkan padanya…bilang salam sayang dari ku, aku sayang banget sama dia Ri” ya tuhan..haruskah aku menerima ini sebagai
kenyataan?.Cody mencintai Husnul? Apa yang harus aku
lakukan?menganggap Husnul pengkhianat?tapi disini posisi Husnul tidak
salah...Cody yang mencintainya bukan?
“kamu suka sama
dia sejak kapan Dy?” apa Cuma perasaanku?atau
memang dunia ini tiba-tiba menjadi kecil dan sempit sehingga aku sulit bernapas disetiap
perkataan yang keluar dari mulutku.
“sejak dua
minggu setelah kita diterima di sekolah ini, dan masa kamu ga tau Ri?”
pertanyaan Cody ini membuatku bingung. Apa
lagi yang harus aku ketahui Tuhan? Bukankah cukup aku tahu kalau cintaku yang
selama ini ku pendam berakhir bertepuk sebelah tangan?
“tau? Tau apa
Dy?” aku tidak mengerti maksud pertanyaan Cody.
“aku sama dia
kan pacaran dari satu minggu yang lalu Ri.” Setelah Cody berkata seperti itu
aku berlari meninggalkannya, tak ku perdulikan panggilan darinya. Tangis ku
pecah, aku menangis sepuasnya di UKS setelah aku berpura-pura sakit. Aku
kecewa, aku ga pernah menyangka sahabatku sendiri tega menyusuk aku dari
belakang, aku lebih baik di tampar sama dia dari depan dari pada seperti ini. Husnul…teganya kau?...
Air mata ku,
mengalir semakin deras saat ku mengingat kejadian siang tadi, Cody tak
mengetahui alasan yang sebenarnya mengapa aku berada di UKS, aku mendengar dia masuk kesini beberapa menit yang lalu
dan menanyakan tentang aku ke murid yang bertugas menjaga UKS, dan
Husnul…dia tak ku temui
lagi selain tadi pagi, entah dimana dia sekarang.
Kini tinggal aku
sendiri, semua murid-murid yang lain sudah pulang dari 15 menit yang lalu. Aku sengaja meminta guru kesehatan untuk membiarkan aku
di UKS sampai aku merasa lebih baik. Lorong sekolah
ini menjadi sangat panjang untuk ku jalani.
“Ri!” suara
panggilan yang keluar dari mulut seseorang yang sangat ku kenal. Tak kusangka
ternyata dia masih berada di sekolah. Ku hapus air mataku.
“ya Nul, kok
belum pulang?” aku berusaha tersenyum.
“tadi ada
kegiatan, loh? Kamu habis nangis Ri? Kenapa?” wajahnya terlihat bingung, ‘kenapa?ini
karena kamu sahabatku sayang’
“Nul, aku mau
Tanya, dan ku ingin kamu jawab dengan jujur”
susah payah aku menahan gejolak yang ada di dadaku yang menginginkan untuk
menamparnya sekarang.
“ok, tanya aja
Ri..apa sih yang ga buat sahabat ku” sahabat?
Masih kau pandang sajakah aku sebagai sahabatmu setelah kau khianati aku?
“apa benar kamu
pacaran sama Cody?” ku lihat kekagetan di wajahnya. Tapi tak butuh 3 detik wajah yang menampilkan ekspresi
itu berubah kembali menjadi semula.
“nggak Ri, siapa
yang bilang?” ucapnya disertai senyuman
manis.
“Husnul!! Jujurlah!..ku mohon..aku butuh kejujuranmu sekarang, aku sakit memikirkan
alasan dan mimik wajah apa yang harus aku perlihatkan saat melihatmu, aku
sakit..didada ini perih..seperti ada yang hilang..”
aku menangis tersedu, ku tatap dia dengan mata yang berair.
“Ri…maafin aku
Ri..aku ga bermaksud Ri..aku...memang pacaran sama Cody..aku memang mencintai
Cody...aku mencintai dia sejak kita bertiga menjadi dekat 3 bulan
lalu..Ri..aku..”
“cukup! Aku
bilang cukup Nul..aku ga pernah nyangka kamu bisa setega ini sama aku. Buat apa
selama ini kamu mendukung aku dengan kata-kata manismu? Hah?! Buat apa kamu
kasih harapan ke aku?! Rasa dikhianati
olehmu lebih sakit daripada saat aku tahu kalau Cody dan kamu Pacaran!Mulai
sekarang kita tak lagi menjadi sahabat!!!” aku sudah tak tahan lagi
berlama-lama di sini, aku berlari pergi meninggalkan Husnul. Sakit hatiku
begitu dalam padanya, dia benar-benar keterlaluan. Hatiku hancur, lebih hancur dari gelas yang jatuh dari
lantai 100 sekalipun.
⃰ ⃰ ⃰
Aku baru saja selesai
membaca buku yang ada di depanku, yah seperti yang biasa aku lakukan di
perpustakaan ini. sejak setahun yang lalu, aku sudah tak bersama-sama Cody dan Husnul lagi. Aku sudah
mengakhiri semuanya, walau dulu Cody
terus mendatangiku dan bertanya mengapa sikapku berubah, dan Husnul yang selalu
meminta maaf padaku, tak pernah sekalipun aku hiraukan. Dalam hati aku sudah
memaafkan Husnul memang, bahkan sejak dulu, tapi memaafkan bukan berarti
melupakan. Ku melihat keluar jendela, ku dapati di
sana Cody sedang duduk di bangku itu lagi, tapi sejak setahun yang lalu jugalah
semua berbeda, karena sekarang dia tak sendirian, ada Husnul yang selalu
menemaninya di sana.
⃰ ⃰ ⃰
Kini
persahabatan kita tinggalah kata
Semuanya
hancur berkeping-keping…
Karena
kau menikamku dari belakang dengan menghela dia dalam dekapanmu…
***
BY : MENTARI ARDINI
By : Rie Chan