Hit counter

Archive for September 2013

  • Love is Life (and) Life is Tears in Heaven

    3

    Chap. 1

    Langit telah berubah menjadi sewarna timah. Hujan deras jatuh ke jalanan bata semen yang tertutup kerikil halus, menekan turun debu beraroma tajam yang diterbangkan kendaraan yang lewat.
    Seorang wanita berbaju biru yang serasi dengan jilbab yang dikenakannya sedang memperhatikan orang yang berlalu lalang di jalanan dari jendela lantai dua rumahnya. Sesekali wanita itu menarik napas berat, wajahnya melukiskan bahwa ada sesuatu hal yang mengganjal pikirannya. Dia menghentikan aktivitas memperhatikan orang-orang di bawah sana dan memutar tubuh untuk melihat sekelilingnya. Ruangan tempat dia berada sekarang adalah kamar tidurnya sendiri, kamar tidur yang tak bisa dikatakan biasa saja dengan ukuran dan isinya.
    Kamar tidur itu bercat kuning gading dan berlantaikan keramik putih susu, dengan hiasan wallstiker burung-burung kecil di sekitar tempat tidur King size yang bersepraikan motif Teddy bear coklat. Di dalam kamar tidur itu terdapat lemari 4 pintu, meja hias, meja belajar dengan rak buku, 2 bangku dan 1 meja kecil, serta TV berukuran 34 inchi dan barang elektronik lainnya.
    Dia berdecak, kakinya melangkah ke arah meja belajar tempat smartphone-nya tergeletak. Tak butuh waktu lama untuk menemukan nama seseorang yang dicarinya, sebelum menyentuh layar yang bertuliskan Dial disempatkannya untuk menarik napas panjang.
    20 detik berlalu, panggilan itu terjawab di seberang sana.
    "Hallo, ada apa nih? Tumben banget nelpon aku,"  Suara manja yang rendah dan serak menyapanya.
    "Emh, hallo, maaf kalau tiba-tiba aku nelpon kamu. Aku mau minta tolong, emh, kamu ngga sibuk kan sekarang?,"
    "Ah, gak apa-apa, Pasti aku tolong deh, aku malah ngga ada kerjaan di rumah. Ayolah, kayak ngga tau aku saja."
    Wanita itu diam sejenak, lalu menjawab
    "Baiklah, tolong jemput aku yah, aku butuh teman untuk ke acara reunian SMA hari ini, kamu pakai baju semi-formal, 1 jam lagi kamu harus ada di sini."
    "Wow!, aku jadi patner yah?! Astaga, baiklah kalau begitu. Tunggu aku 1 jam lagi, jangan lupa dandan yang manis yah, hehehe"
    "Hufthh, kau ini. Ya sudah kalau begitu, bye-bye"
    "Yups, bye-bye Onee-chan."
    "Eeh??!, Wong, tung─"
    Sambungan telepon terputus, gadis itu menatap smartphonenya dengan tatapan horor.
    "Aish, Laki-laki inii." Di lemparkannya benda berwarna hitam itu ke atas tempat tidur dengan kesal.
    Kembali dia mendekati jendela kamarnya yang beberapa menit lalu dia tinggalkan, ditatapnya keadaan di luar sana yang masih setia dengan cuacanya yang buruk, seperti suasana hatinya saat ini. Tak disadarinya ada seseorang yang memandanginya, di balik payung hitam tepat di pinggir jalan.
    ***
    Suasana tampak ramai di dalam restoran yang memang sudah dibooking untuk menjadi tempat diadakannya reunian SMA tempatnya dulu belajar. Diperhatikannya sekilas beberapa orang yang diperkirakannya bisa diajak bercengkrama, setelah quick scan ada 5 orang yang benar-benar masuk dalam 'daftar'nya.
    "Ayo kita masuk," ucap laki-laki yang berada di sampingnya.
    "Ya...."
    Pintu kaca restoran itupun dibuka, dengan seketika semua mata menatap ke arah mereka berdua. Dua anak manusia yang memang pantas untuk diperhatikan, yang laki-laki putih, tinggi, bersih dan berwajah manis yang bisa bikin iri para wanita, apalagi dengan rambut berwarna hitam yang sedikit lebih panjang hingga tengkuk, lagipula sekali lihat orang lain juga tahu kalau dia blasteran, sedangkan yang wanita tinggi, berkulit kuning langsat khas orang jawa, dan memancarkan aura kecantikan dan keseksian yang luar biasa walau dia menggunakan jilbab.
    Semakin mereka berdua mendekat ke arah salah satu meja yang ramai, maka akan terdengar semakin jelas bisikan-bisikan yang seakan memenuhi ruangan.
    "Itu dia kan? Ternyata makin cantik saja."
    "Tak ada yang berubah darinya yah, tetap cantik, anggun, dan tak terjangkau"
    "Coba lihat laki-laki di sampingnya itu, itu pasangannya? benar-benar serasi yah."
    "Ih, dasar tukang pamer. Pasti itu tetangganya yang dipaksa buat nemanin dia."
    "Nona Direktur seperti dia, memang bisa melakukan apa saja. Sekarang dia terkenal akan keberhasilannya."
    "Heh!, Direktur seperti dia apa yang bisa dibanggain?, pengangkatannya saja penuh isu dan konflik"
    Bisikan-bisikan yang semakin jelas itu mengganggu telingannya, ibaratkan kumpulan gurita kecil yang dijejalkan masuk ke dalam telingannya. Geli, dan juga sakit.
    "Hei, apa kabar?" Tiba-tiba sebuah sapaan seperti membongkar habis kumpulan gurita itu. Sapaan itu juga meredakan bisikan yang mengganggu. Situasi tiba-tiba terkendali.
    "Kabarku baik, kamu sendiri bagaimana? Umh, Fio?" Jawabnya dengan sedikit ragu karena lupa-lupa ingat siapa wanita manis yang sedang tersenyum di hadapannya sekarang.
    "Wah, aku ngga nyangka kamu masih ingat sama aku."
    Wanita yang bernama Fio, atau tepatnya Fiorina Mu itu teman sebangkunya 5 tahun lalu. Seseorang yang benar-benar tidak akan masuk dalam ‘daftar’ teman bercengkrama yang baik untuknya. Saatnya untuk bersiap.
    "Ah, begitu yah. Aku yang malah ngga nyangka kalau kamu masih ingat sama aku."
    "Eh?!, itu ngga mungkin. Siapa yang gak akan ingat kamu?, most wantednya SMA Melati 36, dan ditambah lagi 3 bulan lalu kamu diangkat menjadi Direktur Hotel Goddess. Nama dan fotomu ada di hampir semua majalah dan surat kabar, Biebi"
    Ketika Fio mengungkapkan kejadian 3 bulan lalu, wajah Biebi menjadi kaku. Dia tahu kalau hal ini pasti akan diungkit oleh salah satu temannya di acara reunian ini secara terang-terangan, tapi dia tidak menyangka akan secepat ini. Senyuman di wajah Fio membuat Biebi ingin melepas imajinya sebagai gadis Jawa santun dan segera membuat senyuman itu luntur.
    "Ehem" deheman kecil itu menyadarkan Biebi yang sempat telarut perasaan, laki-laki yang sedang bersamanya memberikan tatapan aneh, dengan cepat dia melakukan hal yang seharusnya sudah dilakukan sejak awal.
    "Ah, Fio, perkenalkan ini Wowong dan dia adalah─"
    "Aku Otoutonya Biebi-nee chan" sambar laki-laki yang bernama aneh(?) Itu.
    Sontak mata Fio membulat sempurna mendengar pernyataan Wowong. Fio yang seorang tour guide kurang lebih mengerti beberapa bahasa asing, termasuk bahasa Jepang.
    "ADIK?!!" Ucap Fio setengah berteriak tak percaya. Beberapa orang yang mendengar ucapan Fio pun ikut heboh, karena seorang Biebi itu anak tunggal, pengakuan seseorang sebagai adiknya tentu saja menimbulkan tanda tanya dan berita besar. Apalagi dengan posisi Biebi sebagai Direktur terkenal saat ini.
    "E-eh?! Bukan, bukan. Dia bukan ADIKku!" Biebi berusaha mengkonfirmasi info itu.
    "Nee-chan, jangan begitu dong. Aku sakit hati nih" Wowong memasang wajah memelas yang bisa bikin hati siapa saja klepek-klepek.
    "Jadi dia beneran adikmu?"
    "Adik tiri?"
    "Berita besar ini disembunyikan berapa lama?"
    Pertanyaan-pertanyaan terus mendesak Biebi dari teman-temannya yang langsung mengelilinginya.
    "Bagus, daftar quick scanku hancur berantakan dan aku harus mengkonfirmasi berita ini─lagi" ucap Biebi dalam hati sambil melihat Wowong yang senyam-senyum kepadanya. Dia kesal, tapi juga senang. Karena dengan begitu, Fio tidak akan menanyakan hal yang mengungkit peristiwa 3 bulan lalu.
    ***
    Biebi memutar-mutar polpen di atas meja kerjanya. Tatapan matanya kosong dan pikirannya menerawang. Siang ini dia baru mendapatkan kabar dari mamanya kalau nenek dari pihak papanya ingin membicarakan hal penting nanti malam di rumah mereka. Bukannya Biebi tidak suka akan kedatangan neneknya tersebut, hanya saja neneknya inilah yang menyebabkan dia tiba-tiba harus menanggung beban seorang Direktur Hotel Goddess Group.
    "Haaah" dia menghela napas berat, sejak menjadi Direktur seakan ini hobi barunya.
    Biebi teringat akan kejadian 3 bulan lalu itu, waktu itu papanya sedang tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Penyakit bernama Stroke menimpa papanya secara tiba-tiba saat sedang melakukan rapat umum pemegang saham satu minggu sebelumnya. Biebi tahu, saat itu Hotel Goddess sedang mengalami krisis dan papanya selaku Direktur Hotel Goddess─saat itu Biebi adalah Manejernya─pasti menanggung beban pikiran yang berat. Neneknya yang merupakan Presiden Goddess Group melakukan tindakan yang luar biasa mencengangkan buat Biebi, keluarga serta perusahaan, beliau mengangkat Biebi sebagai Direktur saat itu juga. Menurut neneknya posisi Direktur tak boleh kosong terlalu lama, dan satu-satunya pengganti yang cocok untuk posisi itu adalah Biebi─cucu tertuanya sendiri. Tentu saja Biebi menolak, baginya pengangkatan tiba-tiba itu seperti menghina papanya. Dan juga Biebi tak pernah tertarik untuk menempati posisi itu secara mudah. Kalau pun dia akan menjadi Direktur disuatu hari nanti, dia ingin itu karena hasil kerja kerasnya, bukan pengangkatan tiba-tiba seperti itu. Tapi Neneknya tak akan menjadi Presiden Goddess Group kalau bisa ditolak semudah itu, sikap keras kepala dan juga pantang menyerahnya tak mau menerima alasan apapun atau keputusannya ditolak oleh siapapun. Bahkan neneknya memberikan pilihan sulit untuknya waktu itu, di antara menerima dan menjalankan posisi Direktur  atau dinikahkan dengan anak dari bos salah satu perusahaan kecil yang memang ingin menjadi bagian Goddes Group lalu mengangkat suaminya itu sebagai Direktur baru. Bayangkan?! Pernikahan?! Bahkan neneknya berkata pernikahan itu bisa langsung dilaksanakan keesokan paginya jika Biebi benar-benar menolak keputusan neneknya tersebut. Biebi bukan wanita bodoh, dia berpikir jika dia menikah dengan laki-laki yang tak dikenalnya dan tentu saja akan disepakati secara langsung oleh pihak laki-laki karena keuntungan perusahaan mereka itu dipilihnya, akan jadi apa kehidupannya ke depan? Goddess group?. Mau tak mau akhirnya dia memilih menerima keputusan neneknya setelah diberi waktu berpikir hanya 5 jam waktu itu. Banyak yang senang akan pengangkatannya sebagai Direktur baru, tapi bukan berarti sedikit yang akan membencinya. Beberapa pemegang saham ada yang meragukannya, beberapa pegawai ada yang mencibirnya, yang terparah sehingga menjadi konflik cukup besar untuk diberitakan oleh media massa dalam pengankatannya yang tiba-tiba adalah ketika paman satu-satunya dari pihak papanya menyerangnya di kantor karena tidak menyetujui keputusan neneknya. Atas penyerangan itu, Biebi menderita luka lebam di pipi dan beberapa di lengannya, syukurlah bisa sembuh dengan cepat. Dan pamannya menjadi buronan pihak berwajib entah sampai kapan. Tapi, saat ini, dia adalah Direktur terkenal akan hal lain. Karena dalam waktu 3 bulan setelah pengankatan tiba-tiba dirinya sebagai Direktur, krisis yang menimpa Goddess Group hampir sepenuhnya teratasi. IQ-nya yang jenius serta kecakapannya dalam manajerial, Biebi seperti seseorang yang terlahir memang untuk berbisnis. Sungguh, luar biasa.
    "Haaaah" kali inii Biebi menghela napasnya dengan lebih berat dan keras. Polpennya yang terjatuh ke lantai menyentak pikirannya kembali dari lamunannya.
    Tak lama kemudian pintu ruangannya diketuk perlahan, lalu terbuka dan menampilkan sosok laki-laki berkacamata yang membawa beberapa map berkas.
    "Permisi Bu, ini berkas-berkas yang Ibu minta" katanya seraya menaruh berkas-berkas tersebut di meja Biebi.
    Biebi menatap wajah laki-laki itu lekat. Membuat yang ditatap jadi salah tingkah mengartikan tatapan Bosnya itu padanya. Anan merupakan sekretaris Biebi sejak menjadi Menejer sehingga diangkatnya menjadi sekretarisnya juga saat menjadi Direktur, dia tak mau mengganti orang atas alasan kenyamanan dan kepercayaan. Umur Anan sekitar 23 tahun, berbeda 1 tahun lebih muda darinya. Berkulit seperti tembaga, berbadan atletis dan memiliki senyuman manis yang pasti diakui semua orang. Memandangi Anan dengan lekat mengingatkannya akan seseorang.
    "Bu, apa ada hal lain yang Ibu inginkan?" Tanyanya setelah jengah dipandangi dalam diam. Seandainya Biebi bisa membaca pikiran seseorang, tentu Biebi akan tahu kalau dia baru saja memikirkan hal tak pantas tentang bibir lebar yang sensual dan berwarna pink miliknya.
    "Anan, kau bisa  memberikan pendapat pribadi padaku kan?" Tanya Biebi yang dijawab dengan anggukan ragu dari laki-laki itu. Biebi berdehem kecil. 'Malah mungkin terlalu pribadi', pikirnya ulang.
    "Menurutmu, apa yang harus dilakukan seseorang ketika ada orang lain yang..., yang menyebalkan mengusiknya?"
    "Mengusik?"
    "Yah, misalnya kamu membenci kucing, tapi ada seekor kucing mucil yang terus mendatangimu, walau kamu membencinya, kamu juga tidak tega untuk menyingkirkannya. Karena kalau kucing itu pergi kamu merasa ada sesuatu yang kurang."
    "Berarti dia mengusik pikiran dan juga mengusik...hati?" Lanjut Anan dengan pelafalan 'hati' yang perlahan. Wajah Biebi merona. Melihat reaksi Biebi, Anan langsung tahu apa jawaban sebenarnya dari pertanyaan itu.
    "Yah, bisa dibilang begitu. Bagaimana? Apa yang harus seseorang itu lakukan?"
    Anan tak langsung menjawab, dia tersenyum tipis dan membetulkan letak kacamatanya dengan jari telunjuk kanannya.
    "Jangan melakukan apapun, lihat keadaan dengan baik dan benar, jangan cepat mengambil kesimpulan, waspada kalau itu kesalah pahaman semata,"
    Biebi bingung mendengar ucapan Anan, otak jeniusnya pun tak mampu menangkap maksud sebenarnya dari ucapan Anan.
    Melihat kerutan di kening Biebi, Anan tersenyum lebar. Dia tahu Biebi berpikir keras, dalam hal yang menyangkut hati, perasaan. Biebi bukan ahlinya.
    "Bu, saya rasa saya permisi dulu, ada banyak pekerjaan yang belum saya selesaikan" pamit Anan disetujui anggukan Biebi.
    Setelah Anan pergi, Biebi mengambil smartphone di dalam tas Prada hitam miliknya. Membuka daftar sms masuk dan membaca pesan yang dia terima tadi pagi.
    From : wowong_aneh
    Paagiii, Biebi-nee chan :) ,,
    Onee-chan, jangan lupa sarapan. Oya, nanti pulang kerja aku jemput boleh?. Kemarin maaf yah atas keributan di restorannya, hahahaha. Onee-chan, ganbatte (҂'̀'́)9 !!
    "Nah, perasaan terusik ini muncul lagi. Aakh!"
    Biebi meletakkan smartphonenya di atas meja dengan kasar.
    ***
    Ruang makan di rumah Biebi sangat lebar dan bersih. Biebi, Nenek, Mama dan Papanya, sudah mengelilingi meja besar dengan beraneka makanan yang sudah tersaji apik di atasnya.
    “Silahkan! Silahkan!” Mama menyilakan dengan antusias.
    “Makanannya terlihat sangat enak, pasti bukan kau yang memasaknya, kan?” tanya Neneknya sambil melirik cepat ke arah Mamanya. Biebi mulai merasakan hawa panas menguar dari dua orang wanita yang saling tersenyum itu.
    “Aku yang masak, Bu.” Jawab mama santai tapi dengan penekanan disetiap kata-katanya.
    “Jangan-jangan ditaruh racun lagi!” ceplos Neneknya pelan.
    “Nenek, Mama tidak mungkin seperti itu. Masakan Mama selalu enak kok.” bela Biebi sebelum Mamanya menjawab sindiran pedas dari Neneknya tadi. Terlambat sedikit saja, akan ada perang dunia ke 3 terjadi.
    “Kalau kau bilang begitu, Nenek percaya.”
    Nah, ini dia hal lain yang membuat Biebi menjadi kurang enak hati jika Neneknya berkunjung. Nenek dan Mamanya dari pertama memang kurang akrab, mungkin karena Papa yang menjadi bujangan impian semua gadis malah menikahi Mama yang hanya seorang wanita biasa dari golongan tak berada. Tapi syukurlah Papa tak dipaksa menikah dengan orang lain saat itu, yah alasan tepat Nenek tak melakukannya karena Papa anaknya yang tepat untuk memimpin Goddess Group menuju kegemilangan dibandingkan Pamannya yang tamak itu.
    “Biebi, kau tahu apa alasan Nenek kali ini datang ke-..., ke...”
    “Ke rumah ini, rumah kami” lanjut Biebi dengan memutar bola matanya. Lagi. Neneknya selalu begini. Tidak pernah mau menyebut atau mengakui rumah yang pasti menurut siapa pun bahkan cukup besar dan mewah ini sebagai rumah keluarganya. Alasannya di balik hal itu hanya karena Mama yang memilih tinggal di rumah ini, tinggal di daerah pinggir kota dan bukannya menuruti perkataan Nenek untuk tinggal di kompleks perumahan mewah yang sudah Nenek persiapkan untuk mereka─Papanya tepatnya.
    “Yah..., Nenek ingin memberitahumu kalau 1 bulan lalu kau telah dijodohkan.”
    Hening...
    3 detik...
    6 detik...
    “APA?!!!!” Biebi dan Mamanya berteriak bersamaan, sedangkan Papanya bergerak gelisah menunjukkan kekagetan yang sama.
    “Oh Tuhan..., ada apa dengan kalian berdua? Apa kalian tidak ingat bagaimana etika dimeja makan?” Neneknya menggosok kedua telinganya yang berdenging.
    “Tapi Nek, bukankah kita sudah membahas masalah ini sejak 3 bulan lalu? waktu itu Nenek menggunakan ancaman ‘pernikahan’ agar aku menggantikan posisi Papa. Aku terima keputusan Nenek dan menegaskan aku tidak akan menikah dengan cara zaman batu begitu. Sekarang apa ada masalah lain lagi, sehingga Nenek mengabarkan berita yang bikin aku spot jantung seperti ini?” Biebi berkata dengan berapi-api. Dia berpikir apa lagi yang harus dia hadapi sekarang. Kenapa Neneknya ini seperti Mak Comblang yang keaktifannya sangat mengancam?.
    “Biebi benar Bu!, Ibu jangan memberi kabar yang bisa bikin kami jadi mati mendadak.”
    “Sudahlah, kalian berdua diam dan dengarkan. Biebi, kamu tahukan kita akan membuka cabang di Singapura? Nah, untuk masuk dengan mulus dalam perbisnisan di Singapura kita harus bekerja sama dengan New Moon Group yang hampir menguasai seluruh perbisnisan di sana. Pres.dir Hachiouji memiliki putra yang belum menikah, dan kami berdua sudah sepakat untuk menjodohkan kau dengan anaknya saat pertemuan bisnis 1 bulan lalu.” Neneknya mengakhiri penjelasan santai itu dengan menyeruput teh hangat yang tersedia, sedangkan Biebi dan mamanya hanya menatap tak percaya pada beliau.
    Tiba-tiba Mamanya berdiri dan menggelengkan kepala kuat-kuat, seakan mengerti ide gila apa yang sedang berkeliaran di kepala mertuanya.
    “Ibu..., jangan bilang kalau kau─”
    “Tunggu sebentar!” potong Biebi secepat kilat.
    “Jadi aku benar-benar sudah dijodohkan tanpa persetujuanku terlebih dahulu dan hari ini aku baru diberitahu akan hal itu?. Ini pernikahan bisnis? Apa anak Pres.dir itu setuju dengan semua ini? Kenapa Pres.dir itu mau-mau saja menerima ide menjodohkan kami?” Biebi merasa sekelilingnya berputar-putar, dia mencoba untuk mencerna semua berita yang masuk ke dalam otaknya dengan cepat dan tepat. Masalah ini benar-benar harus jelas. Ini serius, karena ada kejanggalan dalam perjodohan ini.
    Neneknya menatap Biebi dengan tatapan yang sulit diartikan, hal itu mampu membuat Biebi berpikir harapan kecil di hatinya mempunyai jalan. Semoga saja anak Pres.dir itu menolak perjodohan ini, semoga.
    “Ehm, yah..., bisa dibilang tidak semulus yang Nenek dan Pres.dir Hachiouji pikirkan..., Putranya sudah diberitahukan masalah ini tepat 2 minggu sesudah kesepakatan itu kami buat. Dan sang Kakak itu menolak perjodohan ini”
    Pucuk dicinta ulam pun tiba!!!, Biebi serasa ingin melompat-lompat saat ini juga, ternyata anak Pres.dir itu tak sebodoh yang Biebi pikir untuk menerima perjodohan ini. Biebi tersenyum cerah, dipandanginya Mamanya yang juga terlihat gembira.
    “Berarti semua sia-sia kan Nek, aku tahu kalau hanya aku yang tak setuju, perjodohan ini bisa tetap nenek paksakan demi Perusahaan kita, tapi... kalau anak Pres.dir itu juga tak setuju, tentu saja perjodohan ini sudah tak memiliki jalan” kata Biebi seakan dia seorang Peramal yang berhasil menebak apa yang Neneknya rencanakan, tentu saja Neneknya tidak akan ragu untuk menggunakan ancaman-ancaman yang mengerikan untuk membuat Biebi menerima perjodohan itu, karena Neneknya bukanlah orang yang suka ditolak.
    Tapi, tiba-tiba tangan neneknya menggenggamnya perlahan. Biebi kaget mendapati Neneknya tersenyum, senyum yang sering Biebi lihat di saat-saat tertentu. Seketika Biebi merasa sensasi dingin merayapi punggungnya, senyum itu, senyum yang Neneknya tunjukan disaat mendapatkan apa yang dia inginkan, disaat menipu musuh atau rekan bisnis yang mengira merekalah yang menang.
    “Tapi..., apa aku lupa menjelaskan tentang detail sesuatu?. Ah, yah..., aku salah kalau hanya mengatakan Putra Pres.dir Hachiouji, seharusnya dua orang Putra, dan apa kau tak menyimak dengan baik? Aku mengatakan sang Kakak menolak perjodohan ini....”
    Dor!!! Biebi merasa tersentak jatuh ke lubang besar dan dalam. Neneknya tak melanjutkan kata-katanya, dia menatap Biebi, menunggu lanjutan kata-kata itu keluar langsung dari bibir Biebi yang mendadak gemetar.
    “Ber-berarti sang Adik menerimanya.”

    ***

    to be continued...

    BY : MENTARI ARDINI
  • Copyright © - Chibi 'RIE' Mikiko Chan

    Chibi 'RIE' Mikiko Chan - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan