Hit counter

Archive for 2013

  • Rahasia 3 Cangkir Kopi

    3

    Warning! : BL, Don't Like Don't Read (Ngga suka Nda usah baca)



    Di antara jejeran rapi pertokoan yang ada di tengah kota ini, ada sebuah tempat yang sangat menarik. Sebuah cafe sederhana bergaya klasik dengan piano hitam mengkilat di tengah ruangannya. Tapi bukan hal itu yang membuatnya menjadi menarik, melainkan sajian khususnya yang selalu dibicarakan orang-orang. Bagiku bukan hanya sajiannya yang terkenal itu yang membuatku merasa seperti besi yang tertarik kepada magnet dengan tempat ini, ada sebuah alasan khusus yang menjadi dasarnya. ‘SECRET’ itulah nama cafenya.
    Beberapa kali aku pergi ke tengah kota untuk melihat-lihat cafe ini dari luar, seperti sekarang. Dengan berdiri acuh, aku menempelkan wajahku ke jendela besar yang tak jauh dari pintu masuk cafe saat kurasa tak ada seorang pun mengetahui aku melakukannya. Aku tak pernah memasuki cafe ini, tepatnya aku tak sanggup.
    “Kau tidak bosan mengintip terus?”
    DEG! Jantungku serasa melompat dari tempatnya, kuberanikan diri untuk menoleh ke asal suara. Tepat di sebelah kananku sudah berdiri seorang wanita manis yang mengenakan apron berwarna hitam yang senada dengan warna langit yang ada di atas kepalaku saat ini. Dia sedang menatapku dengan tatapannya yang sulit kuartikan.
    “Aku hanya melihat sekilas, bukan mengintip” kataku berusaha setenang mungkin.
    “Baiklah, kalau begitu apa tujuanmu? Jika kau ingin mencicipi menu yang ada di cafe kami, silahkan masuk, tapi jika kau mempunyai tujuan lain, kuharap kau segera menyingkir dari jendela cafe kami. Kau tahu, kau merusak pemandangan.
    JDER!
    Bagai dikutuk jadi batu! aku hanya bisa terdiam saat kata-katanya menelusupi telingaku. Tak pernah kusangka wanita semanis dia mempunyai lidah setajam belati. Dari sekian banyak tipe wanita yang ku kenal, yang satu ini adalah tipe nenek sihir sejati!
    “Dengar yah! Aku sedang tidak ada kerjaan lain aja di rumah. Makanya aku jalan-jalan dan tak sengaja terdampar di depan cafe ini. Aku ngga tertarik buat masuk ke dalam. Permisi!”
    Dengan cepat aku memutar balik tubuhku, hendak pergi sesegera mungkin dari situ. Kesal juga aku dibilang merusak pemandangan! Tapi, aku tak jadi melakukannya karena dia sudah menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam cafe.
    “A-Apa yang kau lakukan? Aku tak mau makan atau minum di sini! Hei! Le-Lepaskan aku!”
    Entah apa yang sudah dimakan sama si nenek sihir ini sampai dia kuat untuk menarikku masuk. Aku terpaksa mengikuti langkah kakinya, aku tak mau membuat keributan selain pasrah dengan apa yang akan terjadi.
    “Kau duduklah di bangku itu, tunggu aku kembali!” Katanya seraya menunjuk sebuah bangku yang tak jauh dari tempat kami berdiri. Bangku itu terletak di sudut ruangan, bangku yang bermandikan cahaya remang. Dengan kesal kumelangkah juga ke bangku sialan itu, sedangkan si nenek sihir sudah menghilang entah kemana.
    Suasana cafe terlihat lenggang. Begitu sampai di bangku tempatku untuk menunggu, aku langsung mengedarkan pandangan mencari objek ‘intip’anku selama ini, objek yang selama tiga bulan terakhir membuatku penasaran, membuatku jatuh cinta.
    Hanya ada enam orang pelanggan yang sedang asik menikmati hidangannya, satu orang kasir wanita dan sisanya hanyalah aku. Mataku terus kuhamburkan ke sekeliling ruangan, tapi dia tak juga kutemukan, kecewa? sudah jelas.
    Tak berapa lama, nenek sihir itu kembali dengan membawa nampan yang berisi dua cangkir minuman, aku hanya memperhatikannya saja dengan wajah kesal yang tak kututup-tutupi.
    “Ini, aku traktir. Gratis, ini sajian utama kami yang terkenal” Katanya yang membuatku membulatkan mata tak percaya. Ada nada sombong yang berpadu apik dengan kebanggaan di ucapannya.
    Ku lihat isi dalam cangkir yang dia sodorkan, cairan berwarna hitam pekat yang memberikanku aroma khasnya yang menusuk hidung.
    “Kenapa harus kopi?” tanyaku sambil meliriknya.
    “Karena warnanya hitam”
    “Haah?”
    “Minumlah dan rasakan.” Setelah berkata begitu, dia mengangkat cangkirnya dan menikmati setiap teguk kopi miliknya, aku menontonnya sebentar, lalu dengan ragu mengambil cangkirku sendiri.
    “Terimakasih” kataku sebelum menempelkan bibir ke pinggiran halus cangkir putih yang bermotif polkadot hitam.
    Tegukan pertama, aku merasakan sensasi kebebasan
    Tegukan ke dua, aku merasakan sensasi kekosongan
    Ditegukan ke tiga, aku merasakan pahit kopi seperti biasa. Sungguh aneh.
    Baru saja aku akan menyelesaikan tegukan ke empat, si nenek sihir itu tertawa.
    “Hahahaha, kau mencari Randy, kan?”
    ‘Brrusshh, uhuk! Uhuk!’ sebagian kopi sudah menyembur dari mulutku, disertai batuk yang menyakitkan.
    “Apa maksudmu?” kataku setelah berhasil mengatasi diriku sendiri.
    “Jangan berbohong, aku mengetahuinya. Sejak tiga bulan lalu, setiap malam aku melihatmu dari jauh sedang mengintip di jendela tadi untuk menemukan sosok Randy yang terkadang memang masih ada di dalam cafe.”
    Sialan! Apa maunya wanita ini? sudah memergoki, menarikku masuk, memaksaku minum kopi ‘aneh’, dan sekarang?! bisa-bisanya dia membuatku terhenyak karena fakta ucapannya.
    “Tidak usah memelototiku seperti itu, sebaliknya kau harus memasang senyum manis karena aku mau memberikan sihir padamu.”
    Apa dia bilang? Sihir? Wah, gawat! Ini orang sepertinya sudah gila! Aku harus segera pergi dari sini!
    Belum juga aku berdiri, dia sudah menambahkan kalimat yang membuatku jadi mamatung─lagi!.
    “Kau bisa berada di dekat Randyberdehem ringankau bisa selalu bertemu dengannya tanpa susah-susah mengintip di luar sana seperti anjing jalanan memelas rasa iba.”
    Dia meletakkan cangkir kopinya, cangkir itu kosong tak berbekas setetes pun cairan kental semula.
    “Apa maumu? Kau sudah menghinaku secara terang-terangan, bahkan aku tak tahu siapa kau sebenarnya? Dan juga kita memang tidak saling mengenal, kan?”
    Mata coklat bulatnya menghujamku, “Aku Tessa, pemilik Cafe sekaligus pelayan di sini. atasan Randy, juga sepupunya.”
    Se-Sepupu? Tuhan, Aku benar-benar dalam masalah!
    “Ok, lalu apa maumu?” aku mulai bergerak gelisah, perutku seperti diterbangi ribuan kupu-kupu, sakit dan geli.
    “Sudah kubilang aku akan memberikanmu sihir. Kau mau terima atau tidak?”
    “Kau gila? Walau dari awal aku sudah melabelimu wanita tipe nenek sihir─maaf akan hal itu, aku tak paham apa maksudmu memberikanku sihir?”
    Kulihat jam dinding yang tergantung di salah satu tiang penyangga cafe ini, jam itu menunjukkan pukul 09.40 malam, aku tahu 20 menit lagi cafe ini akan tutup. Para pelanggan tadi sudah tak ada di tempat mereka. Di ruangan ini, hanya ada aku, Tessa dan kasir wanita di ujung sana sedang menghitung uang.
    “Kau mau bekerja sampingan di sini? untuk 1 minggu, karena salah satu pekerjaku baru saja mengundurkan diri.”
    “Bekerja? Sebagai apa?” aku sedikit tertarik, karena keuanganku juga sudah menipis. Sebagai anak rantau yang ngekos demi mengejar gelar S1 di kota ini, aku hanya bisa berharap dari kiriman orang tua di kampung.
    Asisten Randy—asisten koki. Hanya sampai aku menemukan asisten baru sesungguhnya. Tenang, rahasiamu yang menyukai Randy aman di tanganku., masalah gajimu kusamaratakan dengan gaji yang lain. Gaji sebulan penuh sesuai UMK, bahkan bila aku mendapatkan asisten baru sebelum satu bulan kau bekerja, aku akan tetap memberikanmu gaji itu.. Kau bisa mulai bekerja besok pagi jam 8. Jangan terlambat.”
    “Tu-tunggu dulu, kenapa kau begitu yakin aku akan menerimanya?”
    “Karena kau tak mungkin bisa menolak.”
    ‘Gila! Aku benar-benar dibuat pusing dengan tingkah wanita ini! Dia benar, aku ngga mungkin menolak tawaran tak lazim bin menguntungkan seperti ini’
    “Cih! Ok, anggap aku terima. Tapi aku kuliah, masuk sore dimulai dari jam 5 tepat. Lagipula, asisten koki? Aku ngga pernah masak
    Ngga masalah, kau akan kuberi shift pagi yang dimulai dari jam 8 sampai jam 3 sore. Santai saja, sebagai asisten yang tak berpengalaman kau tidak akan diberikan tugas berat. Paling hanya membawakan atau memberikan apa yang dia minta.
    “Kau..., sudahlah. Kalau memang begitu aku terima pekerjaan ini.”
    “Baik, kesepakatan sudah terjalin. Kau tidak berpikir sihirku akan bekerja tanpa pengorbananmu kan?” seringai licik menghias wajahnya.
    “Apa lagi sekarang?” aku mulai jenuh, wanita ini mengerikan, benar-benar mengerikan.
    “Kau bisa mendekati Randy, menyentuhnya, dan mungkin mendapatkan senyumannya di setiap hari kerja. Tapi kau, kau tak boleh sama sekali berbicara padanya! Juga dengan siapapun! Walau hanya sepatah kata!
    “Maksudmu aku akan menjadi bisu? Di sini?” aku tak habis pikir mendengar persyaratan Tessa. Apa maksudnya aku tak boleh bersuara? Keuntungan apa yang akan dia ‘dapat’kan dengan kebisuanku?
    “Iya. Jika kau melanggar, kupastikan rahasiamu akan sampai ke telinga Randy dengan selamat.”
    Aku diam, orang ini memegang kartu AS-ku, bahkan sebelum dimulainya esok pagi di mana persyaratan Tessa berlangsung, aku sudah merasa tak bisa berbicara lagi.
    “Baiklah, sudah waktunya Cafe kami tutup. Sebaiknya kau pulang dan segera tidur agar besok bisa datang kemari tanpa kata telat.”
    “Tessa...” suaraku terdengar parau memanggil namanya. Dia sedang mengangkat cangkir kami ke atas nampan, “Siapa yang bisa menjamin kau akan merahasiakan perasaanku terhadap Randy selama aku bekerja di sini? dan seandainya pun besok aku tak datang kemari, apa yang akan kau lakukan?”
    Dia tersenyum, “Tuhan, dan aku sendiri menjaminnya. Cafe ini tak akan bernama SECRET kalau tak bisa menyimpan rahasia setiap orang yang pernah mengunjunginya.”
    “Cafe ini?”
    “Hem, Kopi yang kita minum malam ini pun menyimpan rahasia kita rapat-rapat dalam pekatnya.”
    “Ko-kopi?”
    “Oya, menjawab pertanyaan terakhirmu. Jika kau tak datang kemari besok pagi, berarti kau melanggar kesapakatan kita, aku tak menyukai orang seperti itu. Walau kita berdua tidak pernah saling bermusuhan, aku akan memulainya jika kau melakukan hal itu. Mungkin aku akan melakukannya dengan memulai gosip di UNBID kalau kau... menyukai Randy. Bukankah itu menyenangkan? Ciko?”
    Demi kerang ajaibnya Spongebob! Bagaimana bisa Tessa tau aku kuliah di Universitas Bintang Dunia? Dan bagaimana dia tahu namaku? Aku bahkan tak ada menyebutkan namaku sama sekali!
    Satu kesimpulan yang muncul di otakku! Tessa benar-benar seorang wanita penyihir! Aaaaakhh!

    ***

    “Rissa, Nanda, Loki dan Randy. Perkenalkan ini Ciko, dia pengganti Norland sebelum aku menemukan orang lain. Harap membimbingnya dengan baik.”
    Begitulah Tessa memperkenalkan aku kepada orang-orang yang sedang berbaris rapi di depanku ini, mereka memandangku penuh dengan minat, akh! Minus satu orang! Randy hanya melihatku sekilas lalu membuang muka. Ada garis berdarah rasanya di hati kecilku melihat reaksinya.
    Aku menganggukkan kepala lalu tersenyum.
    "Ada 2 orang lagi tapi mereka hari ini dapat shift sore, Sinta dan Doni" tambah Tessa kepadaku.
     “Ciko, umurmu berapa?” tanya wanita bernama Rissa, kutebak umurnya sekitar 18 tahun, 3 tahun lebih muda dariku, aku menjawabnya dengan mengangkat dan membentuk kedua tanganku menjadi angka 2 dan 1. Air mukanya berubah, menampilkan ekspresi bingung melihatku. Aku tetap mengingat syarat Tessa semalam. Aku harus jadi bisu!. Tessa yang juga melihatnya langsung memberikan penjelasan.
    “Oya, Ciko Tunawicara.”
    “Oh....” kata Rissa, Nanda beserta Loki, tatapan mereka menjadi tatapan iba.  Sedangkan Randy, oh Tuhan! Benarkah apa yang kulihat sekarang? Randy tampak... marah?
    “Tessa, bisa ngga sih kalau nyari orang tuh yang becus dikit? Orang bisu kok kamu jadikan pengganti Norland?! Bisa hilang pelanggan kita!
    Suasana menjadi hening. Aku kaget, benar-benar kaget, karena Randy yang selama ini aku lihat dari balik jendela cafe adalah orang yang selalu tersenyum, orang yang selalu ramah terhadap semua orang. Sedangkan Randy yang sekarang ada di hadapanku, 360' berbeda.
    Rissa, Nanda dan Loki langsung pergi meninggalkan kami dengan canggung, sedangkan Tessa hanya berdiri tegak dengan ekspresi yang tenang.
    "Kenapa kau marah? Apa aku melakukan kesalahan dengan menjadikan seorang tunawicara asistenmu?" Katanya santai. Randy menatap Tessa dengan tatapan seakan bisa menembusnya.
    "Salah! Salah besar!" Lalu Randy pergi. Bunyi langkah kakinya menghentak lantai menggema ke seluruh ruangan.
    Aku menatap Tessa, kali ini Tessa menampilkan raut wajah yang bisa menarik perhatian simpati siapa pun. Raut wajah itu, sedih, seakan menangis tanpa air mata. Sedang aku? Aku terluka, hatiku hancur di hari pertama aku bisa bertemu langsung dengan Randy.
    "Tessa..., a-aku─"
    "Shhtt...., pergilah bekerja sekarang. Dan ingat, kau bisu."
    Aku mematuhi perkataannya, keluar dari ruangan dan berjalan menuju tempat Randy berada─Dapur.
    Randy berdiri di dekat kompor yang menyala, dia sedang merebus sesuatu. Begitu aku masuk dia langsung menghampiriku.
    "Aku hanya memberikanmu tugas mudah"
    "Yah, aku yakin hal itu", aku mengangguk.
    "Kau mengurus minuman, aku makanan. Tapi ingat! Jika pesanan minumannya kopi, aku yang akan membuatnya."
    "Hem, kopi?! Tentu saja aku tak keberatan", aku mengangguk lagi.
    "Satu lagi!, menjauhlah sejauh mungkin dariku."
    "Menjauh? Aku tak bisa!", Aku menggeleng. Dia tersentak menjauhiku.
    "Kenapa kau menggeleng?!"
    Aku menjawabnya dengan tersenyum.
    "Aaakh! Susah ngomong sama orang bisu!"
    Setelah membentakku seperti itu, Randy langsung melanjutkan pekerjaannya, dan aku? Tentu saja hanya mengelus dada sambil menunggu perintah.

    ***

    3 hari sudah aku bekerja di cafe ini, 3 hari pula aku mendapatkan bentakan, tatapan tak bersahabat dan ucapan menyakitkan dari Randy. Setelah ku perhatikan, hanya aku yang diperlakukan seperti itu! Aku bingung apa sebenarnya yang salah denganku sehingga Randy berlaku seperti itu. Wajah? Aku di atas rata-rata dan bukan tipe wajah pencari masalah, Badan? Ayolah, aku rajin olahraga, benar-benar bukan tipe orang berbadan lemah yang pantas dibully. Lalu, apa?!. Berbicara padanya saja tak bisa─tak boleh tepatnya, jadi aku tak pernah melukai perasaannya. Apa yang aku harapkan dari janji kesepakatanku dengan Tessa tak ada kutemui.
    "Ran, Bos manggil kamu tuh." Doni─pelayan yang dapat shift pagi hari ini  memanggil Randy yang sedang asik berkutat dengan sayur-mayur di hadapannya.
    "Ada apa?" Jawab Randy.
    "Ngga tau tuh, aku cuma disuruh manggil kamu doank"
    "Oh, OK lah."
    "Yah udah, aku balik ke depan."
    Aku hanya memperhatikan dalam diam mereka berdua sambil membuat jus Alpukat dengan serius.
    Setelah Doni pergi, Randy menghampiriku.
    "Aku datangin Tessa, kamu kerja yang benar."
    Aku membuat tanda OK dengan tanganku, dan dia pun menghilang.
    Tak beberapa lama, terdengar suara bantingan pintu yang berasal dari ruangan Tessa. Aku sudah berfirasat bahwa itu adalah Randy. Dugaanku benar saat Randy masuk ke Dapur dengan wajah yang merah padam.
    "Brengsek!" Makinya. "Sialan! Apa maunya sih?!"
    Aku hanya bisa mematung melihat dia memaki dan berjalan mondar-mandir di dapur.
    Tiba-tiba Randy menatapku, dia berjalan dengan langkah besar dan langsung menarik kerah bajuku.
    "Kau! Kau apakan sih Tessa?! Kenapa Tessa bisa nerima kamu di sini?!"
    Sakit di leherku mengalahkan sakit di hatiku, ku lihat dengan mata setengah terpejam Doni, Nanda bahkan Tessa masuk menerobos dapur. Mereka kaget melihat aku sudah di dalam cengkraman Randy.
    Aku menggeliat berusaha melepaskan diri. Tapi tenagaku kalah oleh tenaganya. Itu tak bisa ku salahkan, karena memang badan Randy sedikit lebih besar dariku.
    "Randy! Apa-apaan sih kamu! Lepasin Ciko!" Teriak Tessa, Doni sudah berada di samping kami. Berusaha memisahkan aku dari Randy.
    Cengkraman Randy lepas, aku terhunyung ke belakang.
    "Tes, kenapa sih kamu harus ngelakuin ini semua? Hah?!" Semprot Randy.
    "Aku ngelakuin ini demi kamu! Kamu kok engga ngerti sih?!"
    Aku menatap 2 orang itu saling memaki, Doni membantuku berdiri, sedangkan Nanda sigap memberikanku air putih.
    "Nan, di depan tinggal Sinta sendirian. Kamu ke depan bantu dia. Kalau ada apa-apa, aku bakalan panggil Loki." Kata Doni. Setelah itu Nanda langsung pergi ke depan.
    Randy dan Tessa sudah tak saling memaki, mereka hanya saling menatap dengan hawa membunuh.
    Aku berjalan menuju Tessa, aku butuh penjelasan kenapa sikap Randy kaya begini.
    Tessa yang melihatku berjalan ke arahnya, langsung menyuruhku berhenti dan menjauh.
    "Kau! Diam di situ dan menjauhlah!"
    Aku menggeleng. Aku merasa ngga bisa.
    Tanpa kusadari Randy sedang memperhatikan kami.
    Dia mengacak rambutnya frustasi.
    "Kau Homo kan, Ko! Kau di sini karena kebaikkan hati Tessa karena kau memohon padanya kan! Kau menyukaiku!"
    Bagai disambar petir! Aku tak percaya dengan pendengaranku. Randy? Dia tahu? Kenapa? Kenapa Randy bisa tahu? Hal ini, selain aku dan Tuhan, hanya Tessalah yang tahu. Mataku berkaca-kaca, aku tak tahu harus berbuat apa selain mematung melihat Randy dengan tatapan jijik memandangku.
    "Don, pergi ke depan sekarang!" Perintah Tessa pada Doni yang kaget dengan apa yang baru saja dia dengar. Doni mematuhinya. Tinggalah kami bertiga.
    "Ran! apa yang kamu bicarakan!? Kau melanggar kesepakatan!"
    "Kesepakatan? Kesepakatan kita hancur tak berbekas setelah aku tahu alasan kamu memperkerjakan dia di sini!"
    "Tapi, kamu ngga bisa menyakiti hati Ciko!"
    "Aku menyakitinya sekarang biar dia tahu apa yang sebenarnya!"
    "Ran! Kamu ngga bisa bilang begitu! Karena kamu j─"
    "CUKUP!" Teriakku, aku sudah tak tahan dengan mereka berdua, dari apa yang aku dengar, Tessa memberitahukan Randy tentang semuanya, dan dia bahkan punya kesepakatan lain dengan Randy.
    "Haaa! Kau bahkan bisa berbicara homo sialan! Selama ini kau berbohong kau bisu karena apa hah?!"
    "Ran! Bisa ngga sih kamu jaga ucapanmu!"
    "Cih! Jaga ucapan sama kamu? Untuk apa?!"
    Aku sudah ngga kuat, aku memilih pergi sesegera mungkin.
    "Ko! Ciko! Tunggu dulu!" Tessa memanggil namaku, aku berbalik dengan pipi yang sudah dialiri air mata.
    "Tes, kamu benar-benar memberikanku sihir. Sihir untuk mengetahui kenyataan."
    Aku pergi meninggalkan mereka.

    ***

    Dua hari kemudian, aku dikagetkan dengan kehadiran Tessa di kosku. Aku ngga habis pikir dari mana wanita ini mengetahui tempat kos ku. Tapi, otakku sudah tak mau ambil pusing. Kalau dia bisa tahu aku kuliah di mana, bahkan tahu siapa namaku, maka kosku bukanlah hal sulit baginya. Ini masih misteri buatku, hanya saja aku malas mencari tahu dengan cara bertanya padanya.
    "Buat apa kamu ke sini?" Tanyaku ketus.
    "Aku mau minta maaf"
    "Semudah itu? Kalau semudah itu di dunia ini aman tentram" kemarahan mulai menelusupi relung hatiku kembali. Aku menyuruhnya masuk. Sebelum memaafkannya─semoga, aku butuh penjelasan kejadian kemarin.
    Kami duduk berhadapan di lantai kosku, karena aku memang ngekos di tempat kos sederhana.
    Aku menatapnya intens, menunggu apa yang akan dia ucapkan.
    Beberapa detik berlalu, akhirnya suaranya terdengar.
    "Aku mau jelasin tantang kemarin, tentang Randy dan aku"
    "Heem"
    "Aku ngga pernah membongkar rahasia kita, dia memang tahu sendiri dari awal  'tentang'mu, dan apa yang kamu saksikan dan dengar kemarin dari sosok Randy bukanlah yang sebenarnya."
    Sinar wajah Tessa meredup, ada air mata menggenang di matanya. Aku hanya diam memperhatikan.
    "Randy, berlaku seperti itu karena dia menyimpan rahasianya sendiri."
    "Rahasia?" Aku tertarik mendengar kata rahasia.
    "Ιya, dia memiliki rahasia juga."
    "Apa?"
    "Kau yakin mau tahu?"
    "Tentu saja"
    "Baiklah, sebenarnya..."

    ***

    Aku berlari sekuat tenaga ke arah cafe SECRET setelah aku sampai di tengah kota ini, satu tujuanku, aku harus bertemu Randy!
    Beberapa langkah lagi aku sampai di depan cafe, kulihat dari jendela besar seperti biasa, pelanggan sedang banyak-banyaknya.
    Aku masuk ke cafe dengan napas terengah, ada Rissa dan Doni yang menyambutku dengan tatapan bingung bercampur terkejut melihatku hadir di sini.
    Aku mendatangi Doni, menanyakan Randy.
    "Randy di mana?"
    Doni membulatkan matanya, mungkin karena dia sadar aku bisa berbicara.
    "A-Ada di dapur seperti biasa, kenapa? Dan kok bisa kau─"
    "Ngga apa-apa"
    Aku langsung melangkahkan kaki ke dapur, tapi dia ngga ada.
    Aku mencoba mencarinya ke ruang istirahat, dan tepat! aku melihat Randy sedang duduk menelungkupkan wajahnya.
    "Ran..." Kataku perlahan.
    Dia tersentak kaget dan melihatku seakan aku tak nyata.
    "Kamu! Kenapa ada di sini?!"
    "Ran, aku udah tahu..., kamu ngga usah ketus begitu"
    "Apaan sih? Sana pergi! Atau aku seret ke lu─"
    Aku tak membiarkan Randy menyelesaikan kalimatnya. Tubuhnya kupeluk erat. Aku sadar, habis ini mungkin aku akan jadi abon Ciko karena berulah begini.
    "A-apa yang kau lakukan?"
    "Sshht...."
    "Kamu mau mati, hah?"
    "Mati di tangan kamu? Boleh saja"
    "Ciko! Aku membencimu! Lepasin ngga?!"
    "Iya, aku juga mencintaimu"
    "...."
    Randy diam tak bersuara untuk beberapa saat, perlahan tapi pasti kurasakan tangannya merengkuhku.
    "Maaf..." Katanya dengan suara parau, aku mengangguk dalam pelukannya.
    "Tessa udah kasih tahu aku semuanya, bahkan tentang dirinya sendiri. Kau tahu ngga alasan dia buat aku bisu di sini apaan?"
    "Yah, aku tahu. Hal itu yang membuatku merasa tak enak hati dan membuat kekacauan denganmu."
    "Aku juga merasa bingung harus bagaimana setelah tahu hal itu dari Tessa. Tapi, dia yakinin aku untuk datang ke sini dan menemuimu. Ternyata dia membuatku bisu karena dia ngga sanggup melihat aku berbicara denganmu."
    "Heem, Dia bisa sanggup melihat kita dalam satu ruangan yang sama, tapi ngga bisa melihat kita saling berbicara satu sama lain."
    Setelah berkata begitu, Randy memperat pelukannya padaku, dan damaai pun menyeruak seketika.

    ***

    1 bulan lalu...
    Sudah hampir tengah malam, saat Tessa duduk termenung seorang diri di dalam cafenya. Dia tak bisa membayangkan apa yang harus dia lakukan setelah pembicaraannya 2 jam lalu dengan sepupunya yang paling dekat. Randy Anggara, cowok yang tampan dengan iris hitam dan badan kekar itu membuatnya galau tidak karuan. Sosok sempurna untuk seorang cowok ada pada Randy, tapi ternyata memang tak ada yang sempurna di dunia ini selain Tuhan.
    Ditatapnya kopi yang masih sisa setengah di dalam cangkirnya, kopi itu sudah tak dia hiraukan, dibiarkan menjadi dingin tanpa disentuh lagi. Sedangkan kopi milik Randy tadi sudah habis, tak bersisa.
    Kembali melesat sosok Randy dalam pikirannya, saat cowok itu mengungkapkan perasaannya yang terdalam, disertai kenyataan yang menghenyakkan batin.
    "Tes, kamu pernah lihat ngga cowo yang terkadang suka ngintip di jendela cafe kita?"
    "Heem pernah, kenapa?" Tessa meminum kopi buatan Randy yang dibawakan cowok itu sebelum memulai pembicaraan.
    "Menurutmu bagaimana?" Randy menenggak kopi miliknya sendiri.
    Tessa diam untuk beberapa detik sebelum menjawab.
    "Yah, lumayanlah. Dia cakep, putih, tinggi, dan bersih."
    "Heem,"
    "Kenapa sih?"
    "Kau bisa menjaga rahasiaku?"
    Tessa meletakkan cangkir kopinya, menatap Randy dengan serius. Sedangkan Randy sesekali masih menikmati setiap tetes kopinya.
    "Rahasia? Apa? Mengejutkan tidak?"
    "Ckckck, anak inii..." Randy menggeleng pelan.
    "Bukannya dijawab, malah berdecak"
    "Aku menyerahkan semua keputusan ditanganmu, apakah kamu akan terkejut atau tidak?, apa kamu akan menjauhiku atau tidak?."
    "Iih, jangan sok misterius deh. Cepat bilang apa rahasiamu?"
    "Okk, jadi..., emh, Tes...aku inii sebenarnya berbeda" Randy sudah meletakkan cangkirnya. Kopinya sudah ludes.
    "Berbeda? Dalam hal apa?"
    "Aku ngga suka lawan jenis"
    Jawaban Randy membuat Tessa menatap Randy dengan tatapan yang bisa membuat burung hantupun takut.
    "Maksudmu? Kau kanibal?"
    "Kata-katamu, Neng. Bukan kanibal, tapi aku homoseksual"
    "Itu maksudku! Ja-jadi kenapa bisa?"
    "Aku sudah lama tahu kalau aku berbeda dari laki-laki lain. Aku laki-laki yang kebetulan mencintai laki-laki juga. Dan aku sedang tertarik dengan seseorang. Aku tak meminta kamu untuk menerima aku apa adanya. Kalau kamu tak bisa menerima kenyataan aku seorang homo, kamu bisa pecat aku, dan jauhin aku, asal satu! Jangan pernah kasih tahu siapapun tentang hal ini. Aku kasih tahu kamu, karena kamu jauh ku anggap lebih dari sekedar sepupu. Kamu itu saudara aku, saudara setelah orang tua kamu ngasuh aku ketika ngga ada yang mau rawat aku sehabis kedua orangtuaku meninggal."
    Tessa meresapi semua perkataan Randy, pikirannya berusaha menampung semua informasi yang diberikan Randy.
    "Apa orang yang kamu sukai cowok yang terkadang berada di luar cafe itu?"
    "Yaah, aku menyukainya. Walau ngga pernah bertatap muka dengannya, aku menyukainya diam-diam. Aku bahkan berlaku bodoh dengan menyelidiki siapa dia? Bayangkan itu? Hahahaha,"
    "O-oh, begitu toh. Boleh ngga aku tahu juga info tentang dia?"
    "Heem, bolehlah. Besok aku bagi tau kamu."
    "Setuju..."
    Setelah itu hening, jeda beberapa menit. Baik Tessa dan Randy ngga ada yang bersuara. Sampai Randy memulainya kembali.
    "Ya udah, aku mau pulang duluan yah, jangan lupa itu rahasia kita."
    Tessa mengangguk, lalu Randy pun pergi.
    Tessa tersentak kembali dari lamunannya ketika jam dinding dalam cafe itu berdenting. Menandakan tengah malam sudah datang.
    Tessa mengambil kembali cangkir kopinya, airmatanya menetes seketika.
    "Biarlah menjadi rahasia bagiku seorang saja, rasa sukaku tak bisa terungkapkan. Hahahaha, seandainya Randy tahu aku juga menyukai cowok itu, apa yang akan dia katakan yah? Hiks.."
    Kata-kata Tessa terhenti, dia menangis, tak kuat juga airmata itu ditahannya.
    "Hiks... Aku.. Hiks... Akan membuat kesempatan buat mereka bersatu, aku tahu hal itu pasti menyakitkan. Tapi... Aku yakin cowok jendela itu menyukai Randy, hiks..walau selama ini aku menyangkal mata dan hatiku saat melihatnya menatap Randy dengan penuh cinta, aku ngga bisa ngga hiiks...bertindak setelah mengetahui perasaan Randy. Hiks... Hiks... Hiks..."
    Airmata Tessa semakin deras, sebagian jatuh dan melebur bersama sisa kopinya. Lenyap ditelan pekat kopi itu.

    ***


    BY : MENTARI ARDINI
  • Copyright © - Chibi 'RIE' Mikiko Chan

    Chibi 'RIE' Mikiko Chan - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan