Hit counter

  • Posted by : Rie Chan 25 Mei 2014





    Chap 3



    Suara binatang malam semakin terdengar di tengah keheningan yang menjadi. Biebi duduk di pinggir tempat tidurnya dengan sikap diam, percakapan di telepon dengan neneknya setengah jam lalu masih terngiang-ngiang di pikirannya, memusnahkan rasa laparnya sehingga dia langsung kembali ke kamar tidur setelah mematikan kompor.
    “Narumi ada di Indonesia, Bie. Mungkin dia akan mendatangimu sebentar lagi. Bersiaplah untuk menyambut calon suamimu itu.”
    Itulah pesan terakhir dari neneknya sebelum menutup telepon. Dalam kegalauan yang menerpa, Biebi menatap balkon kamarnya, ada dorongan untuk menuju balkon dan mengintip suasana rumah kosong yang ada di sebelah kiri rumahnya itu. Dorongan itu semakin kuat dan menyudutkannya, sehingga akhirnya dia menyerah.
    Dengan perlahan Biebi bangkit dan melangkahkan kaki ke sana, angin malam yang dingin langsung menerpanya begitu sampai di depan pagar balkon miliknya. Dengan bersender di pagar balkon dia menengokan kepalanya ke arah halaman yang ada di depan rumah kosong itu. Di sana hanya ada kesunyian dan taman bermandikan cahaya remang-remang yang berasal dari beberapa lampu di atas pagar. Beberapa menit pun berlalu dalam keheningan.
    “Apa benar Narumi di Indonesia? Apa mungkin Narumilah yang akan tinggal di sebelah? Apa dia sekarang sedang merencanakan sesuatu?”
    Biebi menepuk jidatnya sendiri, dia merasa bodoh saat menyadari kalau sekarang pikirannya sudah terpengaruh oleh gosip yang mamanya berikan tadi. Dengan geleng-geleng kepala Biebi hendak kembali ke tempat tidurnya dan berusaha untuk melupakan masalah calon suaminya tersebut, tapi belum juga niat itu terlaksana Biebi menangkap sesuatu yang bergerak di halaman itu dengan ekor matanya. Dia terperanjat dan dengan refleks menutup mulutnya agar tidak berteriak saat melihat ‘apa’ yang bergerak itu. Di sana! Tepat di halaman rumah kosong itu! ada seorang laki-laki yang merayap di rerumputan dan tiba-tiba menengok ke arahnya!
    ***
    “Ada apa?” tanya seorang lelaki yang muncul secara perlahan dari balik pintu rumah tingkat 2 yang baru saja mereka tempati. Kaos hijau melekat di tubuhnya yang mungil namun berbentuk indah karena hasil fitnes yang teratur. Celana pendeknya yang berwarna abu-abu pun seakan ‘sempurna’ dipakai olehnya.
    Dia bertanya pada laki-laki yang sedang tersenyum ke arah balkon rumah di samping rumah mereka.
    “Aku melihatnya” jawabnya disertai senyum yang melebar ke arah sang penanya, lalu berjalan ke arahnya dengan santai. Beberapa kancing atas kemeja putihnya terbuka, berantakan, berlumpur, begitu juga dengan celana panjang hitamnya. Tapi itu semua tak bisa menghilangkan pesonanya.
    “Bagaimana menurutmu?”
    Laki-laki itu sudah berada di samping sang penanya dan menatap wajah sang penanya tersebut untuk beberapa saat. Mata yang selaksana langit malam tanpa bintang miliknya menyiratkan sesuatu.
    “Bahkan dengan melihatnya dalam kesamaran pun aku tahu dia memang cantik”
    “Baguslah kalau begitu”
    “Hn”
    “Hei... bisakah kau hilangkan du─”
    “Apa kau tetap pada keputusanmu?”
    Hening. Mereka berdua hanya berdiam diri untuk beberapa saat. Lalu laki-laki berbaju hijau tersebut melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, dengan berdecak kesal laki-laki yang memakai kemeja putih menyusulnya setelah menutup pintu. Dia perlu berjalan 2 kali lebih cepat agar bisa mencegat laki-laki berbaju hijau masuk ke dalam kamar dan menggantung pembicaraan mereka.
    “Hei! Tunggu aku!”
    Sekali mengayunkan tangannya, dia memutar tubuh laki-laki itu menghadapnya.
    Dilihatnya sepasang mata hijau yang berkabut, membuatnya terhenyak dan merasa seakan terhimpit dunia.
    “Apa menurutmu aku akan menghancurkanmu?” tanyanya serak. Susah baginya mengatur suaranya agar tetap seperti biasa disaat mata hijau itu telah menembus jantungnya.
    Laki-laki itu tersenyum, mengangkat kedua tangannya untuk menelusupi kemeja putih di depannya dan menempelkannya tepat di atas detak kehidupan yang merintih memohon ampun.
    “Hatimu tidaklah seperti besi. Jika menghancurkan diriku saja kau tak bisa, bagaimana kau akan melaksanakan tujuanmu?”
    “....”
    “Kau bisa mengubah tujuanmu sekarang, jika pagi telah tiba semuanya sudah terlambat.”
    “Kenapa kau di sini?”
    “Untuk membantumu tentu saja”
    “Yah, kau ada untuk membantuku. Kau ada di sini untuk membantuku menghancurkan diriku sendiri secara perlahan”
    ***
    “Bie...”
    “....”
    “Biebi...?”
    “....”
    “BIEBI!”
    “Akh!” Biebi sontak menjauhkan smartphone-nya dari telinganya yang berdenging. “Ih! Apaan sih?! ngga perlu pakai teriak segala kan?”
    “Ngga perlu bagaimana? Orang kamunya aku panggil-panggil ngga denger-denger kok!
    “Itu aku lagi mikir, bukan ngga lagi dengerin”
    “Alasan basi lagi!”
    Biebi sedikit tersenyum saat mendengar jawaban itu, memang benar dia hanya beralasan saja saat mengatakan dia sedang berpikir, sebenarnya pikirannya sedang terbang-terbang entah ke mana.
    Saat ini Biebi sedang berada di kantornya, dan dia sedang berbicara dengan Rurie di telepon.
    “Ya sudah, sekarang kamu mau bagaimana?”
    “Aku ngga tau, Bie. Aku bingung, kan kamu tahu sendiri aku ini payah dalam hal berteman dengan lawan jenis. Dia kemarin nanyain aku apa ada waktu luang buat hari sabtu ini? tapi aku belum jawab”
    Biebi memutar bola matanya, lalu mengambil selembar kertas HVS dari laci meja kerjanya.
    “Kurasa kau harus memutuskan hal seperti ini tanpa menanyaiku terlebih dahulu. Jawab saja apa yang memang kamu inginkan. Dan juga, apa ruginya berteman dengannya? Anaknya baik kok, tampan lagi. Seleramu banget kan?”
    “I-iya sih. Baiklah, aku akan menjawabnya siang nanti, kalau dia bertanya lagi. Aaakh~ aku jadi pusing sendiri”
    “Sebagai orang yang mengenal kalian berdua, aku tahu kalian pasti akan cepat akrab. Rie, teleponnya sudahan yah. Aku masih banyak kerjaan, ngga sepertimu yang lebih santai. Semoga berhasil kencannya, Bye....”
    Sambungan telepon terputus, menyisakan Biebi yang sedang tersenyum ringan memandang smartphonenya. Dia masih sulit percaya dengan apa yang sudah diceritakan Rurie padanya pagi ini.
    Biebi mengambil polpen merah di dekatnya. Dia mulai menuliskan apa inti cerita Rurie padanya sambil sesekali mengerutkan kening di kertas HVS yang sebelumnya memang sudah tersedia.
    Biebi menatap kertas HVS yang tergeletak tak berdaya di depannya, coretan merah yang ada di sana membuat Biebi menaikkan sebelah alis.
    Anan langsung kembali ke Restoran Sunrise begitu pulang dari kantor untuk menemui Rurie (saat itu dia tiba-tiba menjadi aneh begitu mengetahui siapa Rurie sebenarnya). Anan entah bagaimana berhasil membuat Rurie menyerahkan Nomor teleponnya (walau aku tidak terlalu kaget dia berhasil mendapatkan nomor telepon Rurie karena dia memang ahli dalam hal ‘mendapatkan’ sesuatu sebagai Sekretarisku). Anan langsung mengajak Rurie bertemu di hari sabtu ini (bukankah itu terlalu cepat? Apa Anan jatuh cinta pada pandangan pertama dan tergila-gila?).
    “Ternyata Anan tertarik dengan wanita seperti Rurie. Hem...ini hal yang bagus untuk Rurie, walau sedikit aneh untuk seorang Anan. Apa yang sedang dicarinya?”
    Coretan Biebi terhenti ketika pintu ruangannya diketuk perlahan dan terbuka untuk menampilkan sosok Anan yang tengah memegang sebuah paket berbentuk kotak coklat berukuran sedang.
    “Permisi Bu, saya baru saja menerima paket ini dari Pak Reno” kata Anan sambil meletakkan paket tersebut di atas meja Biebi.
    Setelah menaruh kertas yang dia baca tadi ke dalam laci, Biebi mengambil Paket itu dan mencari tahu siapa pengirimnya. Tapi nama pengirimnya tidak ada, hanya ada nama penerimanya saja. Paket itu ditujukan langsung kepada Biebi Leonita, tanpa embel-embel ‘Bu’ atau ‘Yth’ di Hotel Goddess.
    “Pak Reno tidak bilang ini dari siapa, Nan?” tanya Biebi kepada Anan yang berdiri tak jauh darinya.
    “Tidak, Bu. Begitu menerima paket ini saya sendiri kaget, karena baru kali ini petugas security mengantarkan paket langsung ke saya. Saat saya bertanya kenapa Pak Reno memberikan langsung ke saya, beliau hanya bilang kalau paket ini titipan dari seorang laki-laki yang juga dititipin dari orang lain. Dan orang itu berpesan agar paket ini langsung diberikan kepada Ibu tanpa ditunda-tunda lagi, karena paket ini berisi hal yang sangat penting, hal yang sangat Ibu butuhkan sekarang”
    Biebi menatap paket itu seksama, kemudian menatap Anan sambil tersenyum.
    “Ya sudah, lanjutkan pekerjaanmu. Terima kasih.”       
    “Baik, Bu.” Anan pergi keluar ruangan, meninggalkan Biebi dengan paket misterius itu.
    Biebi menerka-nerka siapa yang telah memberikannya lelucon ini, paket tanpa nama pengirim merupakan lelucon pasti baginya. Setelah mengambil cutter di kotak kecil tempat alat-alat tulisnya berada, Biebi membuka perlahan paket itu.
    Mata Biebi membulat sempurna saat paket itu terbuka seutuhnya, paket yang berupa kotak hitam bersampul kertas coklat itu benar-benar membuat Biebi susah berkata-kata.
    “Oh My God...” hanya itu yang bisa meluncur dari bibirnya setelah bersusah payah.
    Kotak hitam itu berisi sepaket perhiasan emas putih bertahtakan berlian mewah.
    Sebuah lelucon yang tak bisa dianggap remeh oleh semua wanita.
    ***
    Anan, Pak Reno dan Biebi sama-sama duduk di kursi yang ada di dalam ruangan Biebi. Dengan tangan yang memegang kotak perhiasan yang baru saja dia terima, Biebi bertanya untuk ke-3 kalinya kepada Pak Reno ‘apa benar orang yang menitipkan paket padanya itu tidak memberitahukan detail siapa pengirimnya?’.
    “Saya benar-benar tidak tahu, Bu. Mas-mas tadi itu hanya memberitahukan ke saya kalau paket itu untuk Ibu. Kalau paket itu sangat penting. Ketika saya bertanya ‘dari siapa?’ dia bilang kalau paket itu juga titipan dari orang lain, seorang laki-laki juga. Tidak ada yang lain lagi.”
    Biebi menatap Pak Reno, merasakan kalau apa yang dilakukannya akan berakhir sia-sia saja dia menyuruh Pak Reno pergi untuk kembali berkerja.
    “Bu, apa perlu saya menyelidikinya?” tanya Anan begitu Pak Reno sudah tak ada di ruangan.
    “Kalau kamu bisa. Lakukan. Tapi ingat jangan sampai hal ini tersebar ke luar. Aku tidak suka diburu wartawan. Ini kotak perhiasannya.”
    “Baik, Bu. Saya akan segera memulainya sekarang, permisi Bu.” Sambil membawa kotak perhiasan yang diberikan Biebi, Anan pun pergi.
    Biebi memijit pelipisnya, dia mengambil smartphone-nya dan mencari nama seseorang yang entah dia rasa butuhkan sekarang. Nama itu sudah ditemukannya, namun hanya dipandang tanpa diberikan tindakan.
    “Wowong...”
    ***
    Biebi dan Anan pergi makan siang bersama di Restoran Sunrise, mereka sedang membicarakan bahan rapat yang akan dilaksanakan esok hari. Semula mereka terlihat sangat serius dan tak menghiraukan keadaan sekitar, tapi semua berubah saat Biebi tak sengaja melihat seseorang yang dia kenal sedang memasuki Restoran.
    “Kenapa dia ada di sini?” ucapnya tanpa sadar.
    Anan yang tadi sedang berkonsentrasi dengan notebook-nya kini mengikuti arah pandangan Biebi.
    “Laki-laki itu?” tanyanya kepada Biebi sambil melihat seorang lelaki yang sedang berjalan menuju salah satu meja yang tak jauh dari mereka. Laki-laki itu mengenakan setelan T-shirt abu-abu dan celana Jeans biru serta membawa tas selempang berwarna coklat tua.
    “A?! oh, iya. Dia”
    “Memangnya siapa dia?” Anan kini memandang Biebi, merasa dari nada jawaban Biebi tadi Anan sudah punya satu tebakan jitu. Tapi dia tetap menanyakannya.
    “Kau ingat pembicaraan kita di kantor waktu itu, yang tentang ku─”
    Onee-chan!” seruan itu membuat semua mata menengok pada sang penyeru karena sangking nyaringnya, tidak terkecuali Biebi dan juga Anan.
    Sang penyeru yang tak lain adalah laki-laki yang sedang Biebi dan Anan bicarakan itu berjalan cepat ke arah mereka, senyumnya mengembang seakan baru saja menemukan makanan manis favoritnya.
    Onee-chan! Aku tak menyangka kita akan berjumpa di sini” katanya riang.
    “Ya, ya, ya. Sekarang duduklah sebelum menambahku malu, Wong” Biebi menarik tangan mungil itu dan tersenyum singkat kepada pengunjung Restoran lain. Kini Wowong ikut bergabung di meja mereka, dia mengambil salah satu kursi yang ada di dekatnya dan duduk di samping Biebi.
    “Kenapa kau ada di sini?” tanya Biebi pada Wowong.
    “Tentu saja untuk makan, memangnya untuk apa lagi?” jawabnya dengan wajah tanpa dosa.
    Anan tak sengaja tertawa perlahan. Biebi yang melihatnya memberikan deathglare terbaiknya pada Anan.
    Onee-chan, siapa laki-laki ini? Apa dia kekasihmu? Apa ini berarti aku akan patah hati?”
    Biebi menahan keinginannya untuk membekap mulut manis yang terlalu banyak bertanya itu.
    “Bisa tidak kau diam saja? Dan jangan bertanya hal-hal aneh seperti itu!”
    “Itu tidak aneh, Nee-chan. Aku menanyakannya karena aku menyayangimu”
    “KAU....”
    “Biar kutebak!─ucap Anan memotong perkelahian di depannya─dia ‘kucing’ itu kan?” tanya Anan dengan senyum tertahan.
    “Aku? Kucing? Ne-neko?! Hei! Aku bukan Neko!” kata Wowong sambil melotot dan menunjuk dirinya sendiri.
    “Oya? Jadi benar bukan dia, Bie?” tanya Anan kepada Biebi tanpa menghiraukan Wowong yang sudah memerah di tempat duduknya.
    “Kalian kenapa jadi menyebalkan begini sih? Akh! Aku jadi pusing nih!”
    Wowong dan Anan hendak memberikan jawaban masing-masing, tapi disela oleh suara seorang wanita.
    “Wah, wah, wah. Saat mendapat laporan dari karyawanku tentang pelanggan yang terlalu ribut, aku tak menyangka akan menjumpai kalian”
    “Rurie...”  ucap Anan dan Biebi bersamaan, sedangkan Wowong hanya menatap wanita itu dengan tatapan “siapa ini?
    Rurie menatap Anan sekilas, lalu mengalihkan pandangannya kepada Biebi.
    “Aneh rasanya melihatmu salah tingkah seperti itu, Bie”
    “Apa maksudmu?”
    Rurie tidak menjawab pertanyaan Biebi, dia mengambil salah satu kursi yang ada dan langsung ikut bergabung di meja itu.  Dia memilih duduk di samping Anan.
    “Hai, aku Rurie, aku temannya Biebi. Kamu siapa?”
    Rurie mengulurkan tangannya kepada Wowong, tindakan itu membuat Biebi dan Anan terkejut. Sedangkan Wowong menyambut uluran tangan itu dengan wajah berseri.
    “Hai juga, panggil saja aku Wowong. Aku Otouto-nya Biebi nee-chan. Senang berkenalan denganmu, Rie”
    Otouto? Adik?! Hem… sepertinya aku ‘mencium’ sesuatu”.
    Biebi menggelengkan kepalanya perlahan, dia tahu Rurie akan mencerewetinya nanti.
    “Apa kalian sudah selesai dengan perkenalan ini?” Tanya Biebi sedikit ketus. dia ingin mengucapkan sesuatu yang lain, tapi pelayan datang dan membawakan makanan untuk Rurie serta Wowong.
    Setelah pelayan pergi, Biebi mengira semua ‘kekacauan’ akan ikut pergi bersama hilangnya pelayan itu dari pandangan. Tapi…
    “Nah Wong, bisa kau ceritakan bagaimana bisa kau bertemu Biebi dan menjadi Otouto-nya?”
    Rurie memulai introgasinya.
    ***


    BY : MENTARI ARDINI 


    To be continued~

    #Cerbung ini akan terus saya lanjutkan, tapi yah waktu update-nya ngga nentu. Terima kasih bagi yang masih mengikuti Cerbung ini, baik yang 'meninggalkan jejak' maupun tidak :D.
    Semoga sukses buat kalian :'D

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • Copyright © - Chibi 'RIE' Mikiko Chan

    Chibi 'RIE' Mikiko Chan - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan