Hit counter
Archive for Mei 2014
Love is Life (and) Life is Tears in Heaven (Chap 3)
0
Chap 3
Chap 3
Suara
binatang malam semakin terdengar di tengah keheningan yang menjadi. Biebi duduk
di pinggir tempat tidurnya dengan sikap diam, percakapan di telepon dengan
neneknya setengah jam lalu masih terngiang-ngiang di pikirannya, memusnahkan
rasa laparnya sehingga dia langsung kembali ke kamar tidur setelah mematikan
kompor.
“Narumi ada di
Indonesia, Bie. Mungkin dia akan mendatangimu sebentar lagi. Bersiaplah untuk
menyambut calon suamimu itu.”
Itulah
pesan terakhir dari neneknya sebelum menutup telepon. Dalam kegalauan yang
menerpa, Biebi menatap balkon kamarnya, ada dorongan untuk menuju balkon dan
mengintip suasana rumah kosong yang ada di sebelah kiri rumahnya itu. Dorongan
itu semakin kuat dan menyudutkannya, sehingga akhirnya dia menyerah.
Dengan
perlahan Biebi bangkit dan melangkahkan kaki ke sana, angin malam yang dingin
langsung menerpanya begitu sampai di depan pagar balkon miliknya. Dengan
bersender di pagar balkon dia menengokan kepalanya ke arah halaman yang ada di
depan rumah kosong itu. Di sana hanya ada kesunyian dan taman bermandikan cahaya
remang-remang yang berasal dari beberapa lampu di atas pagar. Beberapa menit
pun berlalu dalam keheningan.
“Apa
benar Narumi di Indonesia? Apa mungkin Narumilah yang akan tinggal di sebelah?
Apa dia sekarang sedang merencanakan sesuatu?”
Biebi
menepuk jidatnya sendiri, dia merasa bodoh saat menyadari kalau sekarang
pikirannya sudah terpengaruh oleh gosip yang mamanya berikan tadi. Dengan
geleng-geleng kepala Biebi hendak kembali ke tempat tidurnya dan berusaha untuk
melupakan masalah calon suaminya tersebut, tapi belum juga niat itu terlaksana
Biebi menangkap sesuatu yang bergerak di halaman itu dengan ekor matanya. Dia
terperanjat dan dengan refleks menutup mulutnya agar tidak berteriak saat
melihat ‘apa’ yang bergerak itu. Di sana! Tepat di halaman rumah kosong itu!
ada seorang laki-laki yang merayap di rerumputan dan tiba-tiba menengok ke
arahnya!
***
“Ada
apa?” tanya seorang lelaki yang muncul secara perlahan dari balik pintu rumah
tingkat 2 yang baru saja mereka tempati. Kaos hijau melekat di tubuhnya yang
mungil namun berbentuk indah karena hasil fitnes yang teratur. Celana pendeknya
yang berwarna abu-abu pun seakan ‘sempurna’ dipakai olehnya.
Dia
bertanya pada laki-laki yang sedang tersenyum ke arah balkon rumah di samping
rumah mereka.
“Aku
melihatnya” jawabnya disertai senyum yang melebar ke arah sang penanya, lalu
berjalan ke arahnya dengan santai. Beberapa kancing atas kemeja putihnya
terbuka, berantakan, berlumpur, begitu juga dengan celana panjang hitamnya. Tapi
itu semua tak bisa menghilangkan pesonanya.
“Bagaimana
menurutmu?”
Laki-laki
itu sudah berada di samping sang penanya dan menatap wajah sang penanya
tersebut untuk beberapa saat. Mata yang selaksana langit malam tanpa bintang
miliknya menyiratkan sesuatu.
“Bahkan
dengan melihatnya dalam kesamaran pun aku tahu dia memang cantik”
“Baguslah
kalau begitu”
“Hn”
“Hei...
bisakah kau hilangkan du─”
“Apa
kau tetap pada keputusanmu?”
Hening.
Mereka berdua hanya berdiam diri untuk beberapa saat. Lalu laki-laki berbaju
hijau tersebut melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, dengan berdecak kesal
laki-laki yang memakai kemeja putih menyusulnya setelah menutup pintu. Dia
perlu berjalan 2 kali lebih cepat agar bisa mencegat laki-laki berbaju hijau
masuk ke dalam kamar dan menggantung pembicaraan mereka.
“Hei!
Tunggu aku!”
Sekali
mengayunkan tangannya, dia memutar tubuh laki-laki itu menghadapnya.
Dilihatnya
sepasang mata hijau yang berkabut, membuatnya terhenyak dan merasa seakan
terhimpit dunia.
“Apa
menurutmu aku akan menghancurkanmu?” tanyanya serak. Susah baginya mengatur
suaranya agar tetap seperti biasa disaat mata hijau itu telah menembus
jantungnya.
Laki-laki
itu tersenyum, mengangkat kedua tangannya untuk menelusupi kemeja putih di
depannya dan menempelkannya tepat di atas detak kehidupan yang merintih memohon
ampun.
“Hatimu
tidaklah seperti besi. Jika menghancurkan diriku saja kau tak bisa, bagaimana kau
akan melaksanakan tujuanmu?”
“....”
“Kau
bisa mengubah tujuanmu sekarang, jika pagi telah tiba semuanya sudah terlambat.”
“Kenapa
kau di sini?”
“Untuk
membantumu tentu saja”
“Yah,
kau ada untuk membantuku. Kau ada di sini untuk membantuku menghancurkan diriku
sendiri secara perlahan”
***
“Bie...”
“....”
“Biebi...?”
“....”
“BIEBI!”
“Akh!”
Biebi sontak menjauhkan smartphone-nya
dari telinganya yang berdenging. “Ih! Apaan sih?! ngga perlu pakai teriak
segala kan?”
“Ngga
perlu bagaimana? Orang kamunya aku panggil-panggil ngga denger-denger kok!”
“Itu
aku lagi mikir, bukan ngga lagi dengerin”
“Alasan
basi lagi!”
Biebi
sedikit tersenyum saat mendengar jawaban itu, memang benar dia hanya beralasan
saja saat mengatakan dia sedang berpikir, sebenarnya pikirannya sedang
terbang-terbang entah ke mana.
Saat
ini Biebi sedang berada di kantornya, dan dia sedang berbicara dengan Rurie di
telepon.
“Ya
sudah, sekarang kamu mau bagaimana?”
“Aku
ngga tau, Bie. Aku bingung, kan kamu tahu sendiri aku ini payah dalam hal
berteman dengan lawan jenis. Dia kemarin nanyain aku apa ada waktu luang buat
hari sabtu ini? tapi aku belum jawab”
Biebi
memutar bola matanya, lalu mengambil selembar kertas HVS dari laci meja
kerjanya.
“Kurasa
kau harus memutuskan hal seperti ini tanpa menanyaiku terlebih dahulu. Jawab
saja apa yang memang kamu inginkan. Dan juga, apa ruginya berteman dengannya?
Anaknya baik kok, tampan lagi. Seleramu banget kan?”
“I-iya
sih. Baiklah, aku akan menjawabnya siang nanti, kalau dia bertanya lagi. Aaakh~
aku jadi pusing sendiri”
“Sebagai
orang yang mengenal kalian berdua, aku tahu kalian pasti akan cepat akrab. Rie,
teleponnya sudahan yah. Aku masih banyak kerjaan, ngga sepertimu yang lebih
santai. Semoga berhasil kencannya, Bye....”
Sambungan
telepon terputus, menyisakan Biebi yang sedang tersenyum ringan memandang smartphonenya. Dia masih sulit percaya
dengan apa yang sudah diceritakan Rurie padanya pagi ini.
Biebi
mengambil polpen merah di dekatnya. Dia mulai menuliskan apa inti cerita Rurie
padanya sambil sesekali mengerutkan kening di kertas HVS yang sebelumnya memang
sudah tersedia.
Biebi
menatap kertas HVS yang tergeletak tak berdaya di depannya, coretan merah yang
ada di sana membuat Biebi menaikkan sebelah alis.
Anan langsung
kembali ke Restoran Sunrise begitu pulang dari kantor untuk menemui Rurie (saat
itu dia tiba-tiba menjadi aneh begitu mengetahui siapa Rurie sebenarnya). Anan
entah bagaimana berhasil membuat Rurie menyerahkan Nomor teleponnya (walau aku
tidak terlalu kaget dia berhasil mendapatkan nomor telepon Rurie karena dia
memang ahli dalam hal ‘mendapatkan’ sesuatu sebagai Sekretarisku). Anan langsung
mengajak Rurie bertemu di hari sabtu ini (bukankah itu terlalu cepat? Apa Anan
jatuh cinta pada pandangan pertama dan tergila-gila?).
“Ternyata
Anan tertarik dengan wanita seperti Rurie. Hem...ini hal yang bagus untuk
Rurie, walau sedikit aneh untuk seorang Anan. Apa yang sedang dicarinya?”
Coretan
Biebi terhenti ketika pintu ruangannya diketuk perlahan dan terbuka untuk
menampilkan sosok Anan yang tengah memegang sebuah paket berbentuk kotak coklat
berukuran sedang.
“Permisi
Bu, saya baru saja menerima paket ini dari Pak Reno” kata Anan sambil
meletakkan paket tersebut di atas meja Biebi.
Setelah
menaruh kertas yang dia baca tadi ke dalam laci, Biebi mengambil Paket itu dan
mencari tahu siapa pengirimnya. Tapi nama pengirimnya tidak ada, hanya ada nama
penerimanya saja. Paket itu ditujukan langsung kepada Biebi Leonita, tanpa
embel-embel ‘Bu’ atau ‘Yth’ di Hotel Goddess.
“Pak
Reno tidak bilang ini dari siapa, Nan?” tanya Biebi kepada Anan yang berdiri
tak jauh darinya.
“Tidak,
Bu. Begitu menerima paket ini saya sendiri kaget, karena baru kali ini petugas
security mengantarkan paket langsung ke saya. Saat saya bertanya kenapa Pak
Reno memberikan langsung ke saya, beliau hanya bilang kalau paket ini titipan
dari seorang laki-laki yang juga dititipin dari orang lain. Dan orang itu
berpesan agar paket ini langsung diberikan kepada Ibu tanpa ditunda-tunda lagi,
karena paket ini berisi hal yang sangat penting, hal yang sangat Ibu butuhkan
sekarang”
Biebi
menatap paket itu seksama, kemudian menatap Anan sambil tersenyum.
“Ya
sudah, lanjutkan pekerjaanmu. Terima kasih.”
“Baik,
Bu.” Anan pergi keluar ruangan, meninggalkan Biebi dengan paket misterius itu.
Biebi
menerka-nerka siapa yang telah memberikannya lelucon ini, paket tanpa nama
pengirim merupakan lelucon pasti baginya. Setelah mengambil cutter
di kotak kecil tempat alat-alat tulisnya berada, Biebi membuka perlahan paket
itu.
Mata
Biebi membulat sempurna saat paket itu terbuka seutuhnya, paket yang berupa
kotak hitam bersampul kertas coklat itu benar-benar membuat Biebi susah
berkata-kata.
“Oh
My God...” hanya itu yang bisa meluncur dari bibirnya setelah bersusah payah.
Kotak
hitam itu berisi sepaket perhiasan emas putih bertahtakan berlian mewah.
Sebuah
lelucon yang tak bisa dianggap remeh oleh semua wanita.
***
Anan,
Pak Reno dan Biebi sama-sama duduk di kursi yang ada di dalam ruangan Biebi.
Dengan tangan yang memegang kotak perhiasan yang baru saja dia terima, Biebi bertanya
untuk ke-3 kalinya kepada Pak Reno ‘apa benar orang yang menitipkan paket
padanya itu tidak memberitahukan detail siapa pengirimnya?’.
“Saya
benar-benar tidak tahu, Bu. Mas-mas tadi itu hanya memberitahukan ke saya kalau
paket itu untuk Ibu. Kalau paket itu sangat penting. Ketika saya bertanya ‘dari
siapa?’ dia bilang kalau paket itu juga titipan dari orang lain, seorang
laki-laki juga. Tidak ada yang lain lagi.”
Biebi
menatap Pak Reno, merasakan kalau apa yang dilakukannya akan berakhir sia-sia
saja dia menyuruh Pak Reno pergi untuk kembali berkerja.
“Bu,
apa perlu saya menyelidikinya?” tanya Anan begitu Pak Reno sudah tak ada di
ruangan.
“Kalau
kamu bisa.
Lakukan. Tapi ingat
jangan sampai hal ini tersebar ke luar. Aku tidak suka diburu wartawan. Ini
kotak perhiasannya.”
“Baik,
Bu. Saya akan segera memulainya sekarang, permisi Bu.” Sambil membawa kotak
perhiasan yang diberikan Biebi, Anan pun pergi.
Biebi
memijit pelipisnya, dia mengambil smartphone-nya dan mencari nama
seseorang yang entah dia rasa butuhkan sekarang. Nama itu sudah ditemukannya,
namun hanya dipandang tanpa diberikan tindakan.
“Wowong...”
***
Biebi
dan Anan pergi makan siang bersama di Restoran Sunrise, mereka sedang
membicarakan bahan rapat yang akan dilaksanakan esok hari. Semula mereka
terlihat sangat serius dan tak menghiraukan keadaan sekitar, tapi semua berubah
saat Biebi tak sengaja melihat seseorang yang dia kenal sedang memasuki
Restoran.
“Kenapa
dia ada di sini?” ucapnya tanpa sadar.
Anan
yang tadi sedang berkonsentrasi dengan notebook-nya
kini mengikuti arah pandangan Biebi.
“Laki-laki
itu?” tanyanya kepada Biebi sambil melihat seorang lelaki yang sedang berjalan
menuju salah satu meja yang tak jauh dari mereka. Laki-laki itu mengenakan setelan
T-shirt abu-abu dan celana Jeans biru serta
membawa tas selempang berwarna coklat tua.
“A?! oh, iya. Dia”
“Memangnya
siapa dia?” Anan kini memandang Biebi, merasa dari nada jawaban Biebi tadi Anan
sudah punya satu tebakan jitu. Tapi dia tetap menanyakannya.
“Kau
ingat pembicaraan kita di kantor waktu itu, yang tentang ku─”
“Onee-chan!” seruan itu membuat semua
mata menengok pada sang penyeru karena sangking nyaringnya, tidak terkecuali
Biebi dan juga Anan.
Sang
penyeru yang tak lain adalah laki-laki yang sedang Biebi dan Anan bicarakan itu
berjalan cepat ke arah mereka, senyumnya mengembang seakan baru saja menemukan
makanan manis favoritnya.
“Onee-chan! Aku tak menyangka kita akan
berjumpa di sini” katanya riang.
“Ya,
ya, ya. Sekarang duduklah sebelum menambahku malu, Wong” Biebi menarik tangan
mungil itu dan tersenyum singkat kepada pengunjung Restoran lain. Kini Wowong
ikut bergabung di meja mereka, dia mengambil salah satu kursi yang ada di
dekatnya dan duduk di samping Biebi.
“Kenapa
kau ada di sini?” tanya Biebi pada Wowong.
“Tentu
saja untuk makan, memangnya untuk apa lagi?” jawabnya dengan wajah tanpa dosa.
Anan
tak sengaja tertawa perlahan. Biebi yang melihatnya memberikan deathglare
terbaiknya pada Anan.
“Onee-chan, siapa laki-laki ini? Apa dia
kekasihmu? Apa ini berarti aku akan patah hati?”
Biebi
menahan keinginannya untuk membekap mulut manis yang terlalu banyak bertanya
itu.
“Bisa
tidak kau diam saja? Dan jangan bertanya hal-hal aneh seperti itu!”
“Itu
tidak aneh, Nee-chan. Aku
menanyakannya karena aku menyayangimu”
“KAU....”
“Biar
kutebak!─ucap Anan memotong perkelahian di depannya─dia ‘kucing’ itu kan?” tanya Anan dengan
senyum tertahan.
“Aku?
Kucing? Ne-neko?! Hei! Aku bukan Neko!” kata Wowong sambil melotot dan menunjuk
dirinya sendiri.
“Oya?
Jadi benar bukan dia, Bie?” tanya Anan kepada Biebi tanpa menghiraukan Wowong
yang sudah memerah di tempat duduknya.
“Kalian
kenapa jadi menyebalkan begini sih? Akh! Aku jadi pusing nih!”
Wowong
dan Anan hendak memberikan jawaban masing-masing, tapi disela oleh suara
seorang wanita.
“Wah,
wah, wah. Saat mendapat laporan dari karyawanku tentang pelanggan yang terlalu
ribut, aku tak menyangka akan menjumpai kalian”
“Rurie...”
ucap Anan dan Biebi bersamaan, sedangkan
Wowong hanya menatap wanita itu dengan tatapan “siapa ini?”
Rurie menatap Anan sekilas, lalu mengalihkan
pandangannya kepada Biebi.
“Aneh rasanya melihatmu salah tingkah seperti itu,
Bie”
“Apa maksudmu?”
Rurie tidak menjawab pertanyaan Biebi, dia mengambil
salah satu kursi yang ada dan langsung ikut bergabung di meja itu. Dia memilih duduk di samping Anan.
“Hai, aku Rurie, aku temannya Biebi. Kamu siapa?”
Rurie mengulurkan tangannya kepada Wowong, tindakan
itu membuat Biebi dan Anan terkejut. Sedangkan Wowong menyambut uluran tangan
itu dengan wajah berseri.
“Hai juga, panggil saja aku Wowong. Aku Otouto-nya Biebi nee-chan. Senang
berkenalan denganmu, Rie”
“Otouto? Adik?!
Hem… sepertinya aku ‘mencium’ sesuatu”.
Biebi menggelengkan kepalanya perlahan, dia tahu Rurie
akan mencerewetinya nanti.
“Apa kalian sudah selesai dengan perkenalan ini?”
Tanya Biebi sedikit ketus. dia ingin mengucapkan sesuatu yang lain, tapi
pelayan datang dan membawakan makanan untuk Rurie serta Wowong.
Setelah pelayan pergi, Biebi mengira semua ‘kekacauan’
akan ikut pergi bersama hilangnya pelayan itu dari pandangan. Tapi…
“Nah Wong, bisa kau ceritakan bagaimana bisa kau
bertemu Biebi dan menjadi Otouto-nya?”
Rurie memulai introgasinya.
***
BY : MENTARI ARDINI
To
be continued~
#Cerbung ini akan terus saya lanjutkan, tapi yah waktu update-nya ngga nentu. Terima kasih bagi yang masih mengikuti Cerbung ini, baik yang 'meninggalkan jejak' maupun tidak :D.
Semoga sukses buat kalian :'D
By : Rie Chan