Hit counter
Archive for 2013
Rahasia 3 Cangkir Kopi
3
Warning! : BL, Don't Like Don't Read (Ngga suka Nda usah baca)
Warning! : BL, Don't Like Don't Read (Ngga suka Nda usah baca)
Di
antara jejeran rapi pertokoan yang ada di tengah kota ini, ada sebuah tempat yang sangat menarik. Sebuah cafe
sederhana bergaya klasik dengan piano
hitam mengkilat di tengah ruangannya.
Tapi bukan hal itu yang membuatnya menjadi menarik,
melainkan sajian khususnya yang selalu dibicarakan orang-orang. Bagiku bukan hanya sajiannya yang terkenal itu yang
membuatku merasa seperti besi yang tertarik kepada magnet dengan tempat ini,
ada sebuah alasan khusus yang menjadi dasarnya. ‘SECRET’
itulah nama cafenya.
Beberapa
kali aku pergi ke tengah kota untuk melihat-lihat cafe ini dari luar, seperti
sekarang. Dengan berdiri acuh, aku menempelkan wajahku ke jendela besar yang
tak jauh dari pintu masuk cafe saat kurasa tak ada seorang pun mengetahui aku
melakukannya. Aku tak pernah memasuki cafe ini, tepatnya aku tak sanggup.
“Kau
tidak bosan mengintip terus?”
DEG!
Jantungku serasa melompat dari tempatnya, kuberanikan diri untuk menoleh ke
asal suara. Tepat di sebelah kananku sudah berdiri seorang wanita manis yang
mengenakan apron berwarna hitam yang senada dengan warna langit yang ada di
atas kepalaku saat ini.
Dia sedang menatapku dengan tatapannya yang sulit kuartikan.
“Aku
hanya melihat sekilas, bukan mengintip” kataku berusaha setenang mungkin.
“Baiklah,
kalau begitu apa tujuanmu? Jika kau ingin mencicipi menu yang ada di cafe kami,
silahkan masuk, tapi jika kau mempunyai tujuan lain, kuharap kau segera menyingkir
dari jendela cafe kami.
Kau tahu, kau merusak pemandangan.”
JDER!
Bagai
dikutuk jadi batu!
aku hanya bisa terdiam saat kata-katanya menelusupi telingaku. Tak pernah kusangka wanita semanis dia mempunyai lidah
setajam belati. Dari sekian banyak tipe wanita yang ku
kenal, yang satu ini adalah tipe nenek
sihir sejati!
“Dengar
yah! Aku sedang tidak ada kerjaan lain aja di rumah. Makanya aku jalan-jalan
dan tak sengaja terdampar di depan
cafe ini. Aku
ngga tertarik buat masuk ke dalam. Permisi!”
Dengan
cepat aku memutar balik tubuhku, hendak pergi sesegera mungkin dari situ. Kesal juga aku dibilang merusak pemandangan! Tapi,
aku tak jadi melakukannya karena
dia sudah menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam cafe.
“A-Apa yang kau lakukan?
Aku tak mau makan atau minum di sini!
Hei! Le-Lepaskan aku!”
Entah
apa yang sudah dimakan sama si nenek sihir ini sampai dia kuat untuk menarikku
masuk. Aku terpaksa mengikuti langkah kakinya, aku tak mau membuat keributan
selain pasrah dengan apa yang akan terjadi.
“Kau
duduklah di bangku itu, tunggu aku kembali!”
Katanya seraya menunjuk sebuah bangku yang tak jauh dari tempat kami berdiri. Bangku
itu terletak di sudut ruangan, bangku yang bermandikan
cahaya remang. Dengan kesal kumelangkah juga ke bangku
sialan itu, sedangkan si nenek sihir sudah menghilang entah kemana.
Suasana
cafe terlihat lenggang.
Begitu sampai di bangku
tempatku untuk menunggu, aku
langsung mengedarkan pandangan mencari objek ‘intip’anku selama ini, objek yang
selama tiga bulan terakhir
membuatku penasaran, membuatku
jatuh cinta.
Hanya
ada enam orang pelanggan yang
sedang asik menikmati hidangannya, satu
orang kasir wanita dan sisanya hanyalah aku. Mataku terus kuhamburkan ke
sekeliling ruangan, tapi dia tak juga kutemukan, kecewa? sudah jelas.
Tak
berapa lama, nenek sihir itu kembali dengan membawa nampan yang berisi dua
cangkir minuman, aku hanya memperhatikannya saja dengan wajah kesal yang tak
kututup-tutupi.
“Ini,
aku traktir. Gratis,
ini sajian utama kami
yang terkenal” Katanya yang membuatku membulatkan mata tak percaya. Ada nada
sombong yang berpadu apik dengan kebanggaan di ucapannya.
Ku
lihat isi dalam cangkir yang dia sodorkan, cairan berwarna hitam pekat yang memberikanku
aroma khasnya yang menusuk hidung.
“Kenapa
harus kopi?” tanyaku sambil meliriknya.
“Karena
warnanya hitam”
“Haah?”
“Minumlah
dan rasakan.” Setelah berkata begitu, dia mengangkat cangkirnya dan menikmati
setiap teguk kopi miliknya, aku menontonnya sebentar, lalu dengan ragu
mengambil cangkirku sendiri.
“Terimakasih”
kataku sebelum menempelkan bibir ke pinggiran halus cangkir putih yang bermotif
polkadot hitam.
Tegukan pertama, aku merasakan sensasi
kebebasan
Tegukan ke dua, aku merasakan
sensasi kekosongan
Ditegukan
ke tiga, aku merasakan pahit
kopi seperti biasa. Sungguh aneh.
Baru
saja aku akan menyelesaikan tegukan ke
empat, si nenek sihir itu tertawa.
“Hahahaha, kau mencari Randy,
kan?”
‘Brrusshh,
uhuk! Uhuk!’ sebagian kopi sudah menyembur dari mulutku, disertai batuk yang
menyakitkan.
“Apa
maksudmu?” kataku setelah berhasil mengatasi diriku sendiri.
“Jangan
berbohong, aku mengetahuinya. Sejak tiga
bulan lalu, setiap malam aku melihatmu dari jauh sedang mengintip di jendela
tadi untuk menemukan sosok Randy yang terkadang memang masih ada di dalam
cafe.”
Sialan!
Apa maunya wanita ini? sudah memergoki, menarikku masuk, memaksaku minum kopi
‘aneh’, dan sekarang?! bisa-bisanya dia membuatku terhenyak karena fakta
ucapannya.
“Tidak
usah memelototiku seperti itu, sebaliknya kau harus memasang senyum manis
karena aku mau memberikan sihir padamu.”
‘Apa dia
bilang? Sihir?
Wah, gawat! Ini orang sepertinya sudah gila! Aku harus segera pergi dari sini!’
Belum
juga aku berdiri, dia sudah menambahkan kalimat yang membuatku jadi
mamatung─lagi!.
“Kau
bisa berada di dekat Randy—berdehem ringan—kau bisa selalu bertemu
dengannya tanpa susah-susah mengintip di luar sana seperti anjing jalanan
memelas rasa iba.”
Dia
meletakkan cangkir kopinya, cangkir itu kosong tak berbekas setetes
pun cairan kental semula.
“Apa
maumu? Kau sudah menghinaku secara terang-terangan, bahkan aku tak tahu siapa kau
sebenarnya? Dan juga kita memang tidak saling mengenal, kan?”
Mata
coklat bulatnya menghujamku, “Aku Tessa, pemilik Cafe sekaligus pelayan di sini.
atasan Randy, juga sepupunya.”
‘Se-Sepupu? Tuhan, Aku benar-benar dalam
masalah!’
“Ok,
lalu apa maumu?” aku mulai bergerak gelisah, perutku seperti diterbangi ribuan
kupu-kupu, sakit dan geli.
“Sudah
kubilang aku akan memberikanmu sihir. Kau mau terima atau tidak?”
“Kau
gila? Walau dari awal aku sudah melabelimu wanita tipe nenek sihir─maaf akan
hal itu, aku tak paham apa maksudmu memberikanku sihir?”
Kulihat
jam dinding yang tergantung di salah satu tiang penyangga cafe ini, jam itu menunjukkan
pukul 09.40 malam, aku tahu 20 menit lagi cafe ini akan tutup. Para pelanggan
tadi sudah tak ada di tempat mereka. Di ruangan ini, hanya ada aku, Tessa dan
kasir wanita di ujung sana sedang menghitung uang.
“Kau
mau bekerja sampingan di sini? untuk 1 minggu, karena salah satu pekerjaku baru
saja mengundurkan diri.”
“Bekerja?
Sebagai apa?” aku sedikit tertarik, karena keuanganku juga sudah menipis.
Sebagai anak rantau yang ngekos demi mengejar gelar S1 di kota ini, aku hanya bisa berharap
dari kiriman orang tua di kampung.
“Asisten Randy—asisten koki. Hanya sampai aku menemukan asisten baru sesungguhnya. Tenang,
rahasiamu yang menyukai Randy aman di tanganku., masalah gajimu
kusamaratakan dengan gaji yang lain.
Gaji sebulan penuh sesuai UMK, bahkan bila aku
mendapatkan asisten baru sebelum satu bulan kau bekerja, aku akan tetap
memberikanmu gaji itu.. Kau bisa mulai bekerja besok pagi
jam 8. Jangan terlambat.”
“Tu-tunggu
dulu, kenapa kau begitu yakin aku akan menerimanya?”
“Karena
kau tak mungkin bisa menolak.”
‘Gila! Aku benar-benar
dibuat pusing dengan tingkah wanita ini! Dia benar, aku ngga mungkin menolak
tawaran tak lazim bin menguntungkan seperti ini’
“Cih!
Ok, anggap aku terima. Tapi aku kuliah, masuk sore dimulai dari jam 5 tepat. Lagipula, asisten koki? Aku ngga pernah masak”
“Ngga masalah, kau akan
kuberi shift pagi yang dimulai dari jam 8 sampai jam 3 sore. Santai saja, sebagai asisten yang tak berpengalaman kau tidak
akan diberikan tugas berat. Paling hanya membawakan atau memberikan apa yang
dia minta.”
“Kau...,
sudahlah. Kalau memang begitu aku terima pekerjaan ini.”
“Baik,
kesepakatan sudah terjalin. Kau tidak berpikir sihirku akan bekerja tanpa
pengorbananmu kan?” seringai licik menghias wajahnya.
“Apa
lagi sekarang?” aku mulai jenuh, wanita ini mengerikan, benar-benar mengerikan.
“Kau
bisa mendekati Randy, menyentuhnya, dan mungkin mendapatkan senyumannya di
setiap hari kerja. Tapi kau, kau tak boleh sama sekali berbicara padanya! Juga
dengan siapapun! Walau hanya sepatah kata!”
“Maksudmu
aku akan menjadi bisu? Di sini?” aku tak habis pikir mendengar persyaratan
Tessa. Apa maksudnya aku tak boleh bersuara? Keuntungan apa yang akan dia
‘dapat’kan dengan kebisuanku?
“Iya.
Jika kau melanggar, kupastikan rahasiamu akan sampai ke telinga Randy dengan
selamat.”
Aku
diam, orang ini memegang kartu AS-ku, bahkan sebelum
dimulainya esok pagi di mana persyaratan Tessa berlangsung, aku sudah merasa
tak bisa berbicara lagi.
“Baiklah,
sudah waktunya Cafe kami tutup. Sebaiknya kau pulang dan segera tidur agar besok bisa
datang kemari tanpa kata telat.”
“Tessa...”
suaraku terdengar parau memanggil namanya. Dia sedang mengangkat cangkir kami
ke atas nampan, “Siapa yang bisa menjamin kau akan merahasiakan perasaanku
terhadap Randy selama aku bekerja di sini? dan seandainya pun besok aku tak
datang kemari, apa yang akan kau lakukan?”
Dia
tersenyum, “Tuhan, dan aku sendiri menjaminnya. Cafe ini tak akan bernama
SECRET kalau tak bisa menyimpan rahasia setiap orang yang pernah
mengunjunginya.”
“Cafe
ini?”
“Hem,
Kopi yang kita minum malam ini pun menyimpan rahasia kita rapat-rapat dalam
pekatnya.”
“Ko-kopi?”
“Oya,
menjawab pertanyaan terakhirmu. Jika kau tak datang kemari besok pagi, berarti
kau melanggar kesapakatan kita, aku tak menyukai orang seperti itu. Walau kita
berdua tidak pernah saling bermusuhan, aku akan memulainya jika kau melakukan
hal itu. Mungkin aku akan melakukannya dengan memulai gosip di UNBID kalau kau...
menyukai Randy. Bukankah itu menyenangkan? Ciko?”
Demi
kerang ajaibnya Spongebob! Bagaimana bisa Tessa tau aku kuliah di Universitas
Bintang Dunia? Dan bagaimana dia tahu namaku? Aku bahkan tak ada menyebutkan namaku
sama sekali!
Satu
kesimpulan yang muncul di otakku! Tessa benar-benar seorang wanita penyihir! Aaaaakhh!
***
“Rissa,
Nanda, Loki dan Randy. Perkenalkan ini Ciko,
dia pengganti Norland sebelum
aku menemukan orang lain. Harap membimbingnya dengan baik.”
Begitulah
Tessa memperkenalkan aku kepada orang-orang yang sedang berbaris rapi di
depanku ini, mereka memandangku penuh dengan minat, akh! Minus satu orang!
Randy hanya melihatku sekilas lalu membuang muka. Ada garis berdarah rasanya di
hati kecilku melihat reaksinya.
Aku
menganggukkan kepala lalu tersenyum.
"Ada 2 orang lagi tapi mereka hari ini dapat shift sore, Sinta dan Doni" tambah
Tessa kepadaku.
“Ciko,
umurmu berapa?” tanya wanita bernama Rissa, kutebak umurnya sekitar 18 tahun, 3
tahun lebih muda dariku, aku menjawabnya dengan mengangkat dan membentuk kedua tanganku
menjadi angka 2 dan 1. Air mukanya berubah, menampilkan ekspresi bingung
melihatku. Aku
tetap mengingat syarat Tessa semalam. Aku harus jadi bisu!. Tessa yang juga
melihatnya langsung memberikan penjelasan.
“Oya,
Ciko Tunawicara.”
“Oh....”
kata Rissa, Nanda beserta Loki,
tatapan mereka menjadi tatapan iba. Sedangkan Randy, oh Tuhan! Benarkah apa yang
kulihat sekarang? Randy tampak... marah?
“Tessa,
bisa ngga sih kalau nyari orang tuh yang becus dikit? Orang bisu kok kamu
jadikan pengganti Norland?! Bisa hilang pelanggan kita!”
Suasana menjadi hening. Aku kaget, benar-benar kaget, karena
Randy yang selama ini aku lihat dari balik jendela cafe adalah orang yang
selalu tersenyum, orang yang selalu ramah terhadap semua orang. Sedangkan Randy
yang sekarang ada di hadapanku, 360' berbeda.
Rissa, Nanda dan Loki langsung pergi meninggalkan kami
dengan canggung, sedangkan Tessa hanya berdiri tegak dengan ekspresi yang
tenang.
"Kenapa kau marah? Apa aku melakukan kesalahan
dengan menjadikan seorang tunawicara asistenmu?" Katanya santai. Randy
menatap Tessa dengan tatapan seakan bisa menembusnya.
"Salah! Salah besar!" Lalu Randy pergi.
Bunyi langkah kakinya menghentak lantai menggema ke
seluruh ruangan.
Aku menatap Tessa, kali ini Tessa menampilkan raut
wajah yang bisa menarik perhatian simpati siapa pun. Raut wajah itu, sedih,
seakan menangis tanpa air mata. Sedang aku? Aku terluka, hatiku hancur di hari
pertama aku bisa bertemu langsung dengan Randy.
"Tessa..., a-aku─"
"Shhtt...., pergilah bekerja sekarang. Dan ingat,
kau bisu."
Aku mematuhi perkataannya, keluar dari ruangan dan
berjalan menuju tempat Randy berada─Dapur.
Randy berdiri di dekat kompor yang menyala, dia sedang
merebus sesuatu. Begitu aku masuk dia langsung menghampiriku.
"Aku hanya memberikanmu tugas mudah"
"Yah,
aku yakin hal itu", aku
mengangguk.
"Kau mengurus minuman, aku makanan. Tapi ingat!
Jika pesanan minumannya kopi, aku yang akan membuatnya."
"Hem,
kopi?! Tentu saja aku tak keberatan", aku mengangguk lagi.
"Satu lagi!, menjauhlah sejauh mungkin
dariku."
"Menjauh?
Aku tak bisa!", Aku
menggeleng. Dia tersentak menjauhiku.
"Kenapa kau menggeleng?!"
Aku menjawabnya dengan tersenyum.
"Aaakh! Susah ngomong sama orang bisu!"
Setelah membentakku seperti itu, Randy langsung
melanjutkan pekerjaannya, dan aku? Tentu saja hanya mengelus dada sambil
menunggu perintah.
***
3 hari sudah aku bekerja di cafe ini, 3 hari pula aku
mendapatkan bentakan, tatapan tak bersahabat dan ucapan menyakitkan dari Randy.
Setelah ku perhatikan, hanya aku yang diperlakukan seperti itu! Aku bingung apa
sebenarnya yang salah denganku sehingga Randy berlaku seperti itu. Wajah? Aku
di atas rata-rata dan bukan tipe wajah pencari masalah, Badan? Ayolah, aku rajin olahraga, benar-benar bukan
tipe orang berbadan lemah yang pantas dibully.
Lalu, apa?!. Berbicara padanya saja tak bisa─tak boleh tepatnya, jadi aku tak
pernah melukai perasaannya. Apa yang aku harapkan dari janji kesepakatanku
dengan Tessa tak ada kutemui.
"Ran, Bos manggil kamu tuh." Doni─pelayan
yang dapat shift pagi hari ini memanggil Randy yang sedang asik berkutat
dengan sayur-mayur di hadapannya.
"Ada apa?" Jawab Randy.
"Ngga tau tuh, aku cuma disuruh manggil kamu
doank"
"Oh, OK lah."
"Yah udah, aku balik ke depan."
Aku hanya memperhatikan dalam diam mereka berdua
sambil membuat jus Alpukat dengan serius.
Setelah Doni pergi, Randy menghampiriku.
"Aku datangin Tessa, kamu kerja yang benar."
Aku membuat tanda OK dengan tanganku, dan dia pun
menghilang.
Tak beberapa lama, terdengar suara bantingan pintu
yang berasal dari ruangan Tessa. Aku sudah berfirasat bahwa itu adalah Randy.
Dugaanku benar saat Randy masuk ke Dapur dengan wajah yang merah padam.
"Brengsek!" Makinya. "Sialan! Apa
maunya sih?!"
Aku hanya bisa mematung melihat dia memaki dan
berjalan mondar-mandir di dapur.
Tiba-tiba Randy menatapku, dia berjalan dengan langkah
besar dan langsung menarik kerah bajuku.
"Kau! Kau apakan sih Tessa?! Kenapa Tessa bisa
nerima kamu di sini?!"
Sakit di leherku mengalahkan sakit di hatiku, ku lihat
dengan mata setengah terpejam Doni, Nanda bahkan Tessa masuk menerobos dapur.
Mereka kaget melihat aku sudah di dalam cengkraman Randy.
Aku menggeliat berusaha melepaskan diri. Tapi tenagaku
kalah oleh tenaganya. Itu tak bisa ku salahkan, karena memang badan Randy
sedikit lebih besar dariku.
"Randy! Apa-apaan sih kamu! Lepasin Ciko!"
Teriak Tessa, Doni sudah berada di samping kami. Berusaha memisahkan aku dari
Randy.
Cengkraman Randy lepas, aku terhunyung ke belakang.
"Tes, kenapa sih kamu harus ngelakuin ini semua?
Hah?!" Semprot Randy.
"Aku ngelakuin ini demi kamu! Kamu kok engga
ngerti sih?!"
Aku menatap 2 orang itu saling memaki, Doni membantuku
berdiri, sedangkan Nanda sigap memberikanku air putih.
"Nan, di depan tinggal Sinta sendirian. Kamu ke
depan bantu dia. Kalau ada apa-apa, aku bakalan panggil Loki." Kata Doni.
Setelah itu Nanda langsung pergi ke depan.
Randy dan Tessa sudah tak saling memaki, mereka hanya
saling menatap dengan hawa membunuh.
Aku berjalan menuju Tessa, aku butuh penjelasan kenapa
sikap Randy kaya begini.
Tessa yang melihatku berjalan ke arahnya, langsung
menyuruhku berhenti dan menjauh.
"Kau! Diam di situ dan menjauhlah!"
Aku menggeleng. Aku merasa ngga bisa.
Tanpa kusadari Randy sedang memperhatikan kami.
Dia mengacak rambutnya frustasi.
"Kau Homo kan, Ko! Kau di sini karena kebaikkan
hati Tessa karena kau memohon padanya kan! Kau menyukaiku!"
Bagai disambar petir! Aku tak percaya dengan
pendengaranku. Randy? Dia tahu? Kenapa? Kenapa Randy bisa tahu? Hal ini, selain
aku dan Tuhan, hanya Tessalah yang tahu. Mataku berkaca-kaca, aku tak tahu
harus berbuat apa selain mematung melihat Randy dengan tatapan jijik
memandangku.
"Don, pergi ke depan sekarang!" Perintah
Tessa pada Doni yang kaget dengan apa yang baru saja dia dengar. Doni mematuhinya.
Tinggalah kami bertiga.
"Ran! apa yang kamu bicarakan!? Kau melanggar
kesepakatan!"
"Kesepakatan? Kesepakatan kita hancur tak
berbekas setelah aku tahu alasan kamu memperkerjakan
dia di sini!"
"Tapi, kamu ngga bisa menyakiti hati Ciko!"
"Aku menyakitinya sekarang biar dia tahu apa yang
sebenarnya!"
"Ran! Kamu ngga bisa bilang begitu! Karena kamu
j─"
"CUKUP!" Teriakku, aku sudah tak tahan
dengan mereka berdua, dari apa yang aku dengar, Tessa memberitahukan Randy
tentang semuanya, dan dia bahkan punya kesepakatan lain dengan Randy.
"Haaa! Kau bahkan bisa berbicara homo sialan!
Selama ini kau berbohong kau bisu karena apa hah?!"
"Ran! Bisa ngga sih kamu jaga ucapanmu!"
"Cih! Jaga ucapan sama kamu? Untuk apa?!"
Aku sudah ngga kuat, aku memilih pergi sesegera
mungkin.
"Ko! Ciko! Tunggu dulu!" Tessa memanggil
namaku, aku berbalik dengan pipi yang sudah dialiri air mata.
"Tes, kamu benar-benar memberikanku sihir. Sihir
untuk mengetahui kenyataan."
Aku pergi meninggalkan mereka.
***
Dua hari kemudian, aku dikagetkan dengan kehadiran
Tessa di kosku. Aku ngga habis pikir dari mana wanita ini mengetahui tempat
kos ku. Tapi, otakku sudah tak mau ambil pusing. Kalau
dia bisa tahu aku kuliah di mana, bahkan tahu siapa namaku, maka kosku bukanlah
hal sulit baginya. Ini masih misteri buatku, hanya saja aku malas mencari tahu
dengan cara bertanya padanya.
"Buat apa kamu ke sini?" Tanyaku ketus.
"Aku mau minta maaf"
"Semudah itu? Kalau semudah itu di dunia ini aman
tentram" kemarahan mulai menelusupi relung hatiku kembali. Aku menyuruhnya
masuk. Sebelum memaafkannya─semoga, aku butuh penjelasan kejadian kemarin.
Kami duduk berhadapan di lantai kosku, karena aku
memang ngekos di tempat kos sederhana.
Aku menatapnya intens, menunggu apa yang akan dia
ucapkan.
Beberapa detik berlalu, akhirnya suaranya terdengar.
"Aku mau jelasin tantang kemarin, tentang Randy
dan aku"
"Heem"
"Aku ngga pernah membongkar rahasia kita, dia memang
tahu sendiri dari awal 'tentang'mu, dan
apa yang kamu saksikan dan dengar kemarin dari sosok Randy bukanlah yang
sebenarnya."
Sinar wajah Tessa meredup, ada air mata menggenang di
matanya. Aku hanya diam memperhatikan.
"Randy, berlaku seperti itu karena dia menyimpan
rahasianya sendiri."
"Rahasia?" Aku tertarik mendengar kata
rahasia.
"Ιya, dia memiliki rahasia juga."
"Apa?"
"Kau yakin mau tahu?"
"Tentu saja"
"Baiklah, sebenarnya..."
***
Aku berlari sekuat tenaga ke arah cafe SECRET setelah
aku sampai di tengah kota ini, satu tujuanku, aku harus bertemu Randy!
Beberapa langkah lagi aku sampai di depan cafe,
kulihat dari jendela besar seperti biasa, pelanggan sedang banyak-banyaknya.
Aku masuk ke cafe dengan napas terengah, ada Rissa dan
Doni yang menyambutku dengan tatapan bingung bercampur terkejut melihatku hadir
di sini.
Aku mendatangi Doni, menanyakan Randy.
"Randy di mana?"
Doni membulatkan matanya, mungkin karena dia sadar aku
bisa berbicara.
"A-Ada di dapur seperti biasa, kenapa? Dan kok
bisa kau─"
"Ngga apa-apa"
Aku langsung melangkahkan kaki ke dapur, tapi dia ngga
ada.
Aku mencoba mencarinya ke ruang istirahat, dan tepat!
aku melihat Randy sedang duduk menelungkupkan wajahnya.
"Ran..." Kataku perlahan.
Dia tersentak kaget dan melihatku seakan aku tak
nyata.
"Kamu! Kenapa ada di sini?!"
"Ran, aku udah tahu..., kamu ngga usah ketus
begitu"
"Apaan sih? Sana pergi! Atau aku seret ke lu─"
Aku tak membiarkan Randy menyelesaikan kalimatnya.
Tubuhnya kupeluk erat. Aku sadar, habis ini mungkin aku akan jadi abon Ciko
karena berulah begini.
"A-apa yang kau lakukan?"
"Sshht...."
"Kamu mau mati, hah?"
"Mati di tangan kamu? Boleh saja"
"Ciko! Aku membencimu! Lepasin ngga?!"
"Iya, aku juga mencintaimu"
"...."
Randy diam tak bersuara untuk beberapa saat, perlahan
tapi pasti kurasakan tangannya merengkuhku.
"Maaf..." Katanya dengan suara parau, aku
mengangguk dalam pelukannya.
"Tessa udah kasih tahu aku semuanya, bahkan
tentang dirinya sendiri. Kau tahu ngga alasan dia buat aku bisu di sini
apaan?"
"Yah, aku tahu. Hal itu yang membuatku merasa tak
enak hati dan membuat kekacauan denganmu."
"Aku juga merasa bingung harus bagaimana setelah
tahu hal itu dari Tessa. Tapi, dia yakinin aku untuk datang ke sini dan
menemuimu. Ternyata dia membuatku bisu karena dia ngga sanggup melihat aku
berbicara denganmu."
"Heem, Dia bisa sanggup melihat kita dalam satu
ruangan yang sama, tapi ngga bisa melihat kita saling berbicara satu sama
lain."
Setelah berkata begitu, Randy memperat pelukannya
padaku, dan damaai pun menyeruak seketika.
***
1 bulan
lalu...
Sudah hampir tengah malam, saat Tessa duduk termenung
seorang diri di dalam cafenya. Dia tak bisa membayangkan apa yang harus dia
lakukan setelah pembicaraannya 2 jam lalu dengan sepupunya yang paling dekat.
Randy Anggara, cowok yang tampan dengan iris hitam dan badan kekar itu
membuatnya galau tidak karuan. Sosok sempurna untuk seorang cowok ada pada
Randy, tapi ternyata memang tak ada yang sempurna di dunia ini selain Tuhan.
Ditatapnya kopi yang masih sisa setengah di dalam
cangkirnya, kopi itu sudah tak dia hiraukan, dibiarkan menjadi dingin tanpa
disentuh lagi. Sedangkan kopi milik Randy tadi sudah habis, tak bersisa.
Kembali melesat sosok Randy dalam pikirannya, saat
cowok itu mengungkapkan perasaannya yang terdalam, disertai kenyataan yang
menghenyakkan batin.
"Tes,
kamu pernah lihat ngga cowo yang terkadang suka ngintip di jendela cafe
kita?"
"Heem
pernah, kenapa?" Tessa meminum kopi buatan Randy yang dibawakan cowok itu
sebelum memulai pembicaraan.
"Menurutmu
bagaimana?" Randy menenggak kopi miliknya sendiri.
Tessa diam
untuk beberapa detik sebelum menjawab.
"Yah,
lumayanlah. Dia cakep, putih, tinggi, dan bersih."
"Heem,"
"Kenapa
sih?"
"Kau
bisa menjaga rahasiaku?"
Tessa
meletakkan cangkir kopinya, menatap Randy dengan serius. Sedangkan Randy
sesekali masih menikmati setiap tetes kopinya.
"Rahasia?
Apa? Mengejutkan tidak?"
"Ckckck,
anak inii..." Randy menggeleng pelan.
"Bukannya
dijawab, malah berdecak"
"Aku
menyerahkan semua keputusan ditanganmu, apakah kamu akan terkejut atau tidak?,
apa kamu akan menjauhiku atau tidak?."
"Iih,
jangan sok misterius deh. Cepat bilang apa rahasiamu?"
"Okk,
jadi..., emh, Tes...aku inii sebenarnya berbeda" Randy sudah meletakkan
cangkirnya. Kopinya sudah ludes.
"Berbeda?
Dalam hal apa?"
"Aku
ngga suka lawan jenis"
Jawaban
Randy membuat Tessa menatap Randy dengan tatapan yang bisa membuat burung
hantupun takut.
"Maksudmu?
Kau kanibal?"
"Kata-katamu,
Neng. Bukan kanibal, tapi aku homoseksual"
"Itu
maksudku! Ja-jadi kenapa bisa?"
"Aku
sudah lama tahu kalau aku berbeda dari laki-laki lain. Aku laki-laki yang
kebetulan mencintai laki-laki juga. Dan aku sedang tertarik dengan seseorang.
Aku tak meminta kamu untuk menerima aku apa adanya. Kalau kamu tak bisa
menerima kenyataan aku seorang homo, kamu bisa pecat aku, dan jauhin aku, asal
satu! Jangan pernah kasih tahu siapapun tentang hal ini. Aku kasih tahu kamu,
karena kamu jauh ku anggap lebih dari sekedar sepupu. Kamu itu saudara aku,
saudara setelah orang tua kamu ngasuh aku ketika ngga ada yang mau rawat aku
sehabis kedua orangtuaku meninggal."
Tessa
meresapi semua perkataan Randy, pikirannya berusaha menampung semua informasi
yang diberikan Randy.
"Apa
orang yang kamu sukai cowok yang terkadang berada di luar cafe itu?"
"Yaah,
aku menyukainya. Walau ngga pernah bertatap muka dengannya, aku menyukainya
diam-diam. Aku bahkan berlaku bodoh dengan menyelidiki siapa dia? Bayangkan
itu? Hahahaha,"
"O-oh,
begitu toh. Boleh ngga aku tahu juga info tentang dia?"
"Heem,
bolehlah. Besok aku bagi tau kamu."
"Setuju..."
Setelah itu
hening, jeda beberapa menit. Baik Tessa dan Randy ngga ada yang bersuara.
Sampai Randy memulainya kembali.
"Ya
udah, aku mau pulang duluan yah, jangan lupa itu rahasia kita."
Tessa
mengangguk, lalu Randy pun pergi.
Tessa tersentak kembali dari lamunannya ketika jam
dinding dalam cafe itu berdenting. Menandakan tengah malam
sudah datang.
Tessa mengambil kembali cangkir kopinya, airmatanya
menetes seketika.
"Biarlah menjadi rahasia bagiku seorang saja,
rasa sukaku tak bisa terungkapkan. Hahahaha, seandainya Randy tahu aku juga
menyukai cowok itu, apa yang akan dia katakan yah? Hiks.."
Kata-kata Tessa terhenti, dia menangis, tak kuat juga
airmata itu ditahannya.
"Hiks... Aku.. Hiks... Akan membuat kesempatan
buat mereka bersatu, aku tahu hal itu pasti menyakitkan. Tapi... Aku yakin
cowok jendela itu menyukai Randy, hiks..walau selama ini aku menyangkal mata
dan hatiku saat melihatnya menatap Randy dengan penuh cinta, aku ngga bisa ngga
hiiks...bertindak setelah mengetahui perasaan Randy. Hiks... Hiks...
Hiks..."
Airmata Tessa semakin deras, sebagian jatuh dan
melebur bersama sisa kopinya. Lenyap ditelan pekat kopi itu.
***
BY : MENTARI ARDINI
By : Rie Chan